• by Oktavia Wijaya
Siapa disini yang melahirkan atau punya anak pas masa pandemi?
Sebagai seorang ibu yang melahirkan anak di masa pandemi, kerasa banget gimana masa pandemi yang menuntut orang-orang untuk stay at home dan mengurangi sosialisasi berpengaruh kepada sosial emosional anak. Anak jadi asing kalau ketemu orang lain, apalagi kalau dibawa ke tempat yang ramai.
Aku melahirkan di tanggal 27 Oktober 2020 ketika pandemi sedang naik-naiknya. Anakku, Dara tumbuh sebagai bayi stay at home alias gak pernah kemana-mana. Keluar paling pas ke dokter aja, udah gitu langsung pulang lagi. Pas masih bayi sih gak masalah, kalau sudah agak besar kan bayi juga perlu bersosialisasi ya.
Aku masih ingat pertama kali membawa Dara keluar rumah. Dia terdiam setiap ada orang baru, dan berujung menangis. Menangisnya juga heboh. Nyatanya, anak-anak usia dini kehilangan tingkat interaksi yang merupakan tonggak penting bagi perkembangan sosial emosionalnya. Selama dirumah, dia hanya bersosialisasi dengan keluarga terdekatnya saja sehingga kebingungan ketika diperkenalkan dengan situasi lain.
Memasuki masa transisi, aku dan ayahnya mulai sering membawa Dara keluar rumah untuk sekedar makan siang diluar atau bertemu teman. Dara mulai punya rutinitas baru dan mulai lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosial. Kondisi ini menuntut adanya upaya adaptif baik bagi orang tua maupun anak.
Apa itu Perkembangan Sosial Emosional Anak?
- Memahami, mengatur, serta mengekspresikan emosi dan perasaan pribadi
- Memahami perasaan dan kebutuhan orang lain
- Berinteraksi dengan orang lain secara baik dan dengan rasa menghargai
- Membangun hubungan yang positif dan bermanfaat dengan orang lain
Webinar Nutrisi Bangsa tentang Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi
- dr.Irma Ardiana selaku MAPS Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak
- Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH selaku Dokter Spesialis Tumbuh Kembang Anak
- Cici Desri selaku Ibu Inspiratif Founder Joyful Parenting 101
Peran Orang Tua dalam Perkembangan Sosial Emosional Anak
• by Oktavia Wijaya
Mau menolak tua, tapi beneran deh umur gak bisa bohong!
Di usia aku yang baru 27 tahun ini, tanda-tanda penuaan itu nyata adanya. Kerutan mulai keliatan, kulit kering, ditambah bekas jerawat yang hampir semuka-muka. Bekas jerawat yang gerombolan ini dateng pas aku hamil tahun lalu. Muka breakout parah, dan hopeless banget karena gak bisa pake skincare ini itu. Urusan skincare lumayan ribet karena gak semua skincare boleh dipake sama ibu hamil dan menyusui. Kalau pun boleh, belum tentu cocok di muka aku yang super sensitif.
Akhirnya pas hamil itu pasrah aja liat muka yang bikin sedih dan gak mau ngaca.
Nah, kulit kering dan udah mulai keliatan garis-garis halusnya ini sejujurnya sedikit mengganggu dan nyebelin karena susah dihilangin. Aku orangnya males pake makeup, dan tentu saja kerutan tipis itu terpampang nyata karena gak ke-cover makeup. Siapa sih yang gak mau awet muda? That's why aku juga mau cari produk anti aging sejak dini.
Konon katanya, retinol bisa mencegah keriput. Cocok nih buat permasalahan kulit aku. Yang bikin ragu adalah katanya gak semua kulit sensitif itu cocok sama retinol. Terus gimana dong?
Bakuchiol, Bahan Alternatif Retinol
Whitelab Bakuchiol Treatment Serum
- Membantu menyamarkan tanda-tanda penuaan dini
- Merawat kekencangan dan kekenyalan kulit wajah
- Mengurangi bruntusan dan jerawat
- Merawat tekstur dan bekas jerawat
- Lebih stabil dan dapat digunakan kapan saja
- Bisa meresap ke dalam kulit lebih dalam dan bersamaan
- Membantu proses stimulasi pembentukan NFM kulit
- Membentu moisture barrier, mencegah TEWL
- Meningkatkan level hidrasi dan mengunci kelembapan
- Merawat kekenyalan dan kelembutan kulit
- Tinggi kandungan Bioactives yang dapat memperbaiki kulit dan kaya antioksidan
- Membersihkan dan merawat pori-pori sehingga tampak samar
- Melindungi kulit dari efek buruk radikal bebas
- Mengurangi minyak berlebih pada wajah
- Menenangkan kulit kemerahan akibat iritasi ringan
Review Whitelab Bakuchiol Treatment Serum
Efek Pemakaian Whitelab Bakuchiol Treatment Serum
• by Oktavia Wijaya
Siapa nih yang ke dokter gigi cuma kalau giginya sakit aja? Kalau dulu, aku kayaknya bakalan jadi yang angkat tangan paling tinggi karena bener-bener males ke dokter gigi. Yang namanya ke dokter, aku kira cuma pas sakit aja. Setelah gigiku bermasalah dan aku datang ke dokter gigi, baru sadar kalau periksa gigi ke dokter gigi itu gak usah nunggu sakit.
Faktanya, 94,9% masyarakat perkotaan tidak pernah ke dokter gigi dalam satu tahun terakhir. Salah satu alasannya adalah persebaran dokter gigi yang belum merata. Tidak hanya itu, biaya ke dokter gigi yang tidak murah juga membuat masyarakat enggan memeriksakan giginya dengan teratur. Akibatnya, dari 57% masyarakat yang memiliki masalah gigi dan mulut, hanya 10,2%nya saja yang berkunjung ke dokter gigi. Mayoritas yang ke dokter gigi pun karena sudah putus asa sakit gigi.
Informasi tersebut aku dapet pas ikutan virtual conference Pepsodent bekerja sama dengan FDI World Dental Federation (FDI) juga dengan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dalam rangka Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Sedunia 2022. Kampanye yang dilakukan adalah "Jangan Tunggu Sampai Sakit Gigi, #KonsultasiGigiSekarang". Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran sekaligus memfasilitasi masyarakat untuk rutin melakukan pemeriksaan gigi dan mulut.
Di virtual conference tersebut, turut hadir:
- Menteri Kesehatan Indonesia Budi Gunadi Sadikin
- drg. Ratu Mirah Afifah, GCClinDent., MDSc., Head of Professional Marketing Beauty and Personal Care Unilever Indonesia
- drg. Usman Sumantri, MSc, Ketua Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)
- Prof. Ihsane Ben Yahya, President FDI World Dental Federation
- Maudy Koesnaedi, selebritas dan ibu satu anak
Social Icons