"Eh, hari ini Hari Anak Nasional ya?"
Aku baru tersadar setelah membaca tulisan Ardan, mengenai sebuah surat yang ditulis seorang Kepala Sekolah SD Al Bina Masohi di Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku kepada para orang tua peserta didik kelas 6 yang anaknya telah selesai melaksanakan ujian sekolah. Beliau berani menyuarakan apa yang sebenarnya harus kita sadari, apalagi sebagai orang tua. Bahwa kompetensi anak tidak berhenti di nilai pelajaran saja, bahwa pekerjaan apapun membanggakan, dan bahwa anak adalah masa depan bangsa.
Baca tulisan Ardan disini.
Aku juga memiliki sebuah cerita, sekaligus keresahan. Aku adalah seorang anak, belum menjadi orang tua. Tapi nyatanya semakin dewasa, semakin peka menangkap realita sulitnya menjadi orang tua dan mendidik anak.
Mungkin zaman dahulu anak memiliki cita-cita yang hampir sama. Kalau gak guru ya dokter, kalau gak polisi ya tentara, berputar-putar disitu. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, cita-cita anak semakin beragam. Ada yang ingin menjadi Youtuber, ada yang ingin menjadi artis, ada yang ingin menjadi pemain game, dll. Benar kan?
Untuk segala kemudahan teknologi dan lingkungan yang mendukung, referensi cita-cita sangat banyak. Kemudahan informasi membuat anak mengetahui banyak hal, sehingga variasi cita-cita pun cukup banyak. Tapi, apa kabar mereka yang tinggal jauh dari hiruk pikuk perkotaan?
Cita-Cita Eben
Eben adalah nama panggilan, nama aslinya Rahman. Dia adalah anak desa Lebetawi, Kota Tual, Maluku Tenggara. Kamu pasti akan sulit menemukan Kota Tual di peta Indonesia. Pulaunya kecil, dikelilingi samudera luas.
Di Tual ada sinyal, 4G. Tapi kuota internet mahal. Wifi juga jarang, bahkan di desa tidak ada. Anak-anak lebih senang bermain bola, berenang di laut, memanjat pohon, dan bolos dari sekolah.
Oke, kembali lagi ke Eben. Aku mendengar Areta bercerita ketika selesai bermain dengan beberapa anak kecil di desa tersebut. Aku dan Areta adalah dua dari 32 orang yang sedang melaksanakan ekspedisi sosial disana. Terbagi dalam beberapa divisi, aku memilih divisi Ekonomi, sedangkan Areta divisi Pendidikan. Kalau aku lebih sering bertemu dengan ibu-ibu PKK, Areta ini lebih sering bertemu dengan anak-anak.
Areta bercerita mengenai cita-cita Eben.
Saat Areta bertanya mengenai cita-cita, Hendrik dan Dede menjawab mereka ingin jadi polisi. Tapi berbeda dengan Eben. Tebak Eben pengen jadi apa? Pengen jadi preman.
"Kenapa?", Areta bertanya.
"Enak, bunuh orang dapat uang.", jawabnya.
![]() |
Mereka bukan Eben, hehe. |
Eben memang masih anak-anak, jawabannya pun masih belum bisa dianggap serius. Tapi cita-citanya menjadi warning. Mungkin Eben hidup di lingkungan yang dekat dengan premanisme, tak heran dia memiliki pandangan seperti itu.
Aku sadar, bahwa lingkungan cukup mempengaruhi sudut pandang anak mengenai apa yang dia cita-citakan. Sepertinya peran orangtua disini sangat penting, untuk bisa meluruskan presepsi yang salah mengenai 'preman', bahwa menjadi preman bukan sesuatu yang harus dicita-citakan.
Seberapa Besar Pengaruh Lingkungan?
Lingkungan punya peran penting dalam mewujudkan kepribadian anak. Ketika anak masih balita, lingkungan keluarga memiliki porsi yang besar dalam menentukan kepribadian anak. Tapi begitu anak semakin tumbuh dewasa, lingkungan keluarga mulai berkurang porsinya dan ditambah dengan lingkungan sosial.
Cita-cita yang anak-anak sebutkan biasanya didapat dari apa yang mereka lihat, mereka dengar dan mereka alami. Sama halnya dengan yang diutarakan Eben, lingkungan hidupnya yang mempengaruhi dia sehingga memiliki pemikiran seperti itu. Bisa dari lingkungan keluarga, maupun lingkungan sosialnya.
Aku juga pernah membaca sebuah cerita, tapi aku lupa dimana. Seseorang menanyakan hal yang sama (mengenai cita-cita) kepada seorang anak kecil, perempuan. Jawabannya tidak kalah mengejutkan, bahwa dia ingin menjadi PL (Pemandu Lagu). Setelah dicari tahu, ternyata dia pernah diajak saudaranya atau sepupunya (lupa) ke tempat seperti itu sehingga dia berpikir bahwa menyenangkan berprofesi seperti itu.
Orang tua tidak boleh memaksakan cita-cita tertentu pada anaknya, biarkan anak memilih cita-citanya sendiri. Tetapi, harus tetap diawasi dan diberikan arahan. Jangan sampai orang tua lepas tangan.
"Kalau kamu cita-citanya jadi apa?", tanya Areta ke salah satu anak perempuan.
"Jadi istrinya Captain America!.", jawabnya sambil tersipu.
Post a Comment