"Eh, hi."
"What is your name?"
"Okta, and you?"
"Alexis."
"Where do you come from?"
"France. You?"
"Indonesia"
"Oh ya, are you muslim?"
"Ya, how about you?"
Itulah percakapan pertamaku dengan Alexis. Sedikit tertegun dengan kalimat terakhir, karena ini pertama kalinya aku bertemu dengan penganut Atheis. Kami bertemu di salah satu hostel di Cappadocia. Karena aku traveling sendirian dan Alex pun sendirian, akhirnya kami memutuskan untuk traveling bareng.
Alex pergi dari Perancis ke Turki melalui jalur darat, dia adalah backpacker handal yang terkadang melakukan hitch hiking atau nebeng untuk sampai ke tujuan. Aku mendengarkan Alex bercerita mengenai kota Paris yang tidak indah sama sekali, demonstrasi Yellow Jacket yang saat itu sedang berlangsung, dan kota kecil tempat dia tinggal.
Alex sangat penasaran dengan Indonesia, karena dia tidak pernah tahu apapun mengenai Indonesia. Yang unik, hal pertama yang dia tanyakan tentang Indonesia bukan wisatanya, tapi sistem pemerintahannya.
"I never heard about Indonesia, so tell me please", ujarnya.
Akhirnya, aku menjelaskan mengenai sistem pemerintahan Indonesia, mata uang, bahasa, penduduknya dan tak lupa tentang pariwisatanya dengan bahasa Inggrisku yang belepotan. Menjelaskan mengenai hal-hal seperti itu dalam bahasa inggris cukup sulit, berkali-kali aku membuka Google Translate untuk menerjemahkan istilah bahasa Indonesia yang aku tak tahu apa dalam bahasa Inggris.
Tentang Traveling
"Kamu setiap makan di restaurant?", Alex bertanya dengan kening yang berkerut.
Ya, aku setiap makan di restaurant karena menurutku itu satu-satunya tempat yang nyaman untuk makan, apalagi aku solo traveler. Alex mengajakku ke Bim atau mini market, dia menunjukan bagaimana dia membeli makanan selama perjalanan.
Setelah kami menemukan mini market, Alex masuk dan lekas menuju rak roti, keju dan daging asap. Tak lupa dia juga membeli air minum ukuran 1 liter. Inilah makanan yang sering dikonsumsi Alex selama traveling, selain hemat juga sehat. Dia jarang sekali makan di restaurant, kecuali saat aku bilang kepadanya ingin makan nasi.
"It's okay sometimes dinner at Restaurant. Let's go.", ujarnya.
Setelah berkeliling di Goreme Open Air Museum, kami memutuskan untuk jalan kaki ke Red Valley yang jaraknya lumayan jauh, 2 jam perjalanan. Sebelumnya, kami nekat memanjat bukit untuk melihat pemandangan Goreme dari atas.
Alex menemukan church tersembunyi, untuk melihatnya harus melewati jalan kecil yang kanan kirinya jurang.
"Okta come here. It's beautiful."
"Gak mau, takut.", ujarku.
"Come, sini tasnya dulu!". Alex membantuku membawakan tas, dan menuntunku melewati jalan kecil itu. Dia juga merelakan kakinya menjadi pijakan untuk naik ketika keluar dari church.
Alex sangat menyukai tempat-tempat bersejarah. Dia berkali-kali berdecak kagum dengan underground city, dan memasuki setiap pintu disana. Dia juga mengoleksi berbagai macam pecahan keramik maupun batu yang dia temukan di sekitar tempat-tempat bersejarah.
Teman perjalanan Alex adalah sebuah kerir besar. Ternyata dia membawa kompor, gelas dan panci kecil untuk menyeduh air. Aku memperkenalkan Indomie kepadanya, katanya dia pertama kali makan Indomie. Kesukaannya rasa ayam.
Alex juga menceritakan mengenai pengalamannya hitch hiking. "Hitch hiking menyenangkan, tapi tetap harus hati-hati apalagi perempuan.
"Kamu pernah hitch hiking?", tanya Alex.
"Gak pernah, gak berani."
"Gampang, kamu tinggal menghadap jalan dan acungkan jempolmu.", dia menjelaskan sambil mencontohkan di pinggiran jalan sepi menuju Red Valley.
Sambil berjalan kaki menuju Red Valley, Alex bercerita mengenai pekerjaannya di Perancis. Dia keluar dari pekerjaannya untuk melakukan perjalanan ini.
"Why?", tanyaku.
"Aku merasa tidak hidup karena rutinitas. Bukan itu yang aku mau. Hanya dengan traveling aku merasa hidup, bertemu banyak orang, melihat banyak tempat baru."
"Sama. Tapi aku tidak seberani kamu untuk meninggalkan pekerjaan. Berkelana dalam waktu yang lama adalah salah satu impian aku, tapi mungkin bukan sekarang.", ujarku.
"Aku akan bekerja lagi untuk menabung, dan akan resign lagi setelah tabunganku sudah cukup untuk traveling.", dia menjawab sambil tertawa.
Tentang Menikah
Alex menanyakan umur kepadaku, dan aku bertanya balik kepadanya. Ternyata dia berumur 34 tahun, belum menikah.
Aku bertanya apakah dia didesak menikah oleh keluarga atau orang-orang sekitar karena usianya?
"Gak. Keluargaku tidak mendesak untuk menikah dan aku gak peduli sama orang-orang yang menyuruhku menikah. Aku gak mau menikah.", ujarnya santai.
Aku kembali bertanya, "Why?"
Alex tidak mau terikat. Dia ingin menghabiskan waktu untuk berkelana, tidak ingin ada yang menghalanginya untuk pergi kemanapun ia mau. Dan hal itu sudah dia pertimbangkan. Dia balik bertanya, "Kamu ada rencana menikah?".
"Ada, suatu hari nanti.", jawabku.
Tentang Ateis
Ya, Alex tidak memiliki agama. Dia merasa bahwa kepercayaan akan agama itu membuat orang-orang menjadi terkotak-kotakan. Banyak orang yang merasa superior karena agama tertentu dan menganggap agama lainnya salah. Akhrinya terjadi konflik baik itu kecil maupun besar.
"Orang-orang sibuk beragama, sampai lupa menjadi manusia yang baik."
Di Perancis sendiri, orang ateis itu biasa saja berbeda dengan di Indonesia. Mereka yang ateis akan mendapatkan tekanan sosial yang besar.
Alex tidak ragu memperkenalkan diri sebagai ateis, menurutnya tak ada yang salah dengan menjadi ateis.
Ketika mengunjungi underground city, Alex bertemu dengan rombongan bapak-bapak berjumlah 3 orang. Seperti biasa, dia memperkenalkan diri sebagai ateis. Lalu bapak-bapak itu bingung.
"You ateis, and she's muslim?", sambil menunjukku. "How?", dia melanjutkan pertanyaannya.
Kami tertawa, bapak itu kebingungan. Alex menjelaskan bahwa kita hanya berteman karena sama-sama solo traveler dan memutuskan traveling bareng. Tidak ada hubungan apa-apa. Lalu, bapak tersebut ikut tertawa.
Perbincangan panjang dengan Alex sangatlah menyenangkan. Dia sangat open minded, pendengar yang baik. Tak ada rasa tersudutkan ketika dia bertanya macam-macam mengenai islam dan alasanku berhijab. Dia juga tidak tersinggung ketika aku bertanya mengenai kepercayaannya.
Alex juga mengenalkanku dengan Nilay, ketika aku berkata akan mengunjungi Izmir. Nilay adalah temannya. Dia menghubungi Nilay dan menitipkanku kepadanya. "Awas ya, jangan bikin malu aku udah nitipin kamu ke Nilay!", ancamnya sambil tertawa.
Aku belajar banyak dari Alex, terima kasih telah mempertemukan aku dengannya. Yes Alex, see you next time!
Untung nulis ini, jadi inget kalau aku belum kirim foto-foto yang dia minta di kamera. *brb kirim*
Post a Comment