Pernah
nonton film Posesif? Film dalam negeri yang satu itu mengangkat sebuah fenomena
unik. Film itu tidak hanya menampilkan bagaimana indahnya masa-masa pacaran,
apalagi dengan cinta pertama. Lebih jauh dari itu, film ini menggambarkan
sebuah hubungan yg kompleks antara Lala dan Yudhis, Lala dan Ayahnya, Yudhis
dan Ibunya, juga lingkungan mereka. Tindakan posesif Yudhis merupakan sebuah sebab
akibat dari kehidupan pribadinya sebelum bertemu dengan Lala. Lala
mengatasnamakan cinta dan perasaan untuk menoleransi sikap posesif Yudhis, juga
karena hubungan Lala dengan ayahnya yang tidak begitu baik secara hubungan ayah
dan anak. Cerita yang kompleks itu berakhir dengan perpisahan antara Lala dan
Yudhis. Lala akhirnya dapat keluar dari hubungan tidak sehat itu, dan kembali
menjalani hidupnya sendiri meskipun dengan awal yang tidak mudah.
Fenomena
tersebut sebenarnya terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Bukan hanya remaja labil
yang melakukan hal tersebut, ada banyak juga orang dewasa yang mengatasnamakan
cinta untuk menoleransi pacaran yang tidak sehat. Posesif dianggap sebagai sebuah
kewajaran karena cinta. “Dia kan sayang sama aku, makannya dia posesif”, begitu
pikirnya. Nyatanya, posesif merupakan sebuah ciri-ciri hubungan yang tidak
sehat.
Masih
berdasarkan hasil diskusi dengan Mbak Wita, Psikolog dari Tiga Generasi. Beliau
menuturkan ada banyak sekali kasus kekerasan dalam pacaran yang dianggap
sebagai sebuah kewajaran. Mengatasnamakan cinta, sayang, dan sebagainya
ditambah dengan framing bahwa wanita itu harus nurut kepada laki-laki, bahwa
laki-laki itu berhak mengatur wanita, membuat hal-hal tersebut dianggap wajar.
Laki-laki merasa super power sehingga bisa mengatur wanita, dan wanitanya pun
merasa bahwa memang seharusnya seperti itu.
Masa-masa
pacaran dianggap sebagai sebuah simulasi memulai sebuah hubungan rumah tangga.
Saking seriusnya, pasangan sudah mulai mengatur sana-sini, menuruti pasangannya,
mulai ngambek-ngambek, seperti mau nikah besok saja. Tidak dapat dipungkiri
juga hal tersebut adalah sebuah akibat dari maraknya relationship goals di
media social yang membuat banyak orang mengartikan sebuah pacaran menjadi ajang
umbar kemesraan.
Nah,
kekerasan dalam pacaran itu apa sih?
“Kekerasan dalam pacaran adalah pola perilaku di mana salah satu pasangan berusaha mengontrol, mengatur, menyebabkan rasa takut, atau bahkan membuat ketergantungan pasangannya di dalam suatu relasi pacaran. Tidak perlu luka fisik untuk menjadi korban kekerasan dalam pacaran.”
Jangan ada
lagi anggapan bahwa kekerasan dalam pacaran hanya berupa luka secara fisik.
Jangan ada lagi anggapan bahwa “Selama dia gak mukul aku sih gak apa-apa, toh
dia mukulnya tembok kan. Marah mah wajar namanya juga manusia”. Pedahal, dengan
dia seperti itu menandakan dia seseorang yang tidak bisa mengontrol emosi.
Bahkan, luka secara psikis tidak kalah penting dari pada luka secara fisik.
Jadi yang
termasuk ke dalam kekerasan dalam pacaran apa aja?
Posesif,
gak boleh ini itu, gak boleh jalan sama temen, harus video call setiap saat,
tiap menit buka social media pacarnya, kalo follow-followan sama lawan jenis
dia block, dan masih banyak sekali contoh dari sebuah control berlebihan
terhadap pasangan. Akibatnya, rasa insecure akan muncul dan tidak percaya
kepada pasangan, lingkungan yang terbatas, tidak bisa mengembangkan diri, dan
masih banyak lagi. Kondisi tersebut tidak baik, apalagi untuk seorang remaja
yang seharusnya sedang dalam proses menemukan dan mengembangkan diri.
Kontrol
berlebihan itu, lama kelamaan akan berubah menjadi sebuah ancaman. “Awas aja
kalo kamu gak nurut sama aku, kita putus!”, adalah ancaman yang sering
digunakan untuk mengontrol pasangan. Ancaman juga bisa berupa “Kalo kamu
putusin aku, aku bakal sayat-sayat tangan aku!”.
Contoh
lainnya adalah pasangan yang membuat ketergantungan. Kemana-mana harus bareng,
kemana-mana harus dianterin, dipantau, harus telfonan, harus video call, dan
keharusan-keharusan berlebihan lainnya. Pemaksaan untuk berhubungan seksual,
memaksa berfoto tidak senonoh untuk pasangan, sampai melakukan pelecehan
seksual juga merupakan bentuk kekerasan dalam pacaran.
Bahkan hal
yang simple seperti pengambilan keputusan secara sepihak, memaksa membelikan
semua yang pacarmu mau, mendikte pekerjaan apa yang harus kamu pilih, melarang
bekerja dan menuntut ilmu juga merupakan bentuk kekerasan secara ekonomi. Wow,
menyeramkan bukan hidup dalam sebuah hubungan seperti itu?
Terus,
dampak terhadap korbannya apa?
Dampaknya,
korban cenderung memiliki self-esteem yang rendah, menyalahkan diri sendiri,
merasa dirinya kurang berharga, insecure dan mudah marah. Korban akan
terus-terusan mengikuti permintaan pasangannya dikarenakan merasa dirinya sudah
tidak berharga. Korban juga cenderung tidak komunikatif dan takut untuk
berkomunikasi, dampaknya korban akan sulit menyelesaikan permasalahan yang dia
alami.
Psikis
korban terganggu dan untuk menyembuhkannya pun membutuhkan waktu yang tidak
sebentar. Dibutuhkan support system yang
baik untuk bisa membangkitkan kepercayaan diri korban.
So, the
ultimate goal is to stop dating violence before it starts. Jangan memutuskan
berkomitmen dengan pasangan yang arogan dan tidak menghargai kita. Ingat bahwa
sebuah hubungan yang sehat adalah hubungan dengan komunikasi yang baik, saling
mendukung dan pengambilan keputusan dilakukan bersama. Tidak ada yang dominan,
tapi saling melengkapi. Interaksi
kekerasan pada hubungan pacaran yang tidak sehat juga bisa menjadi awal dari
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, lho! Buang jauh-jauh kebiasaan
memaklumi tabi’at buruk pasangan yang bikin ngebatin karena alasan cinta. Cinta
bukan luka…
Post a Comment