Beberapa hari yang lalu, akun instagram @SabangMerauke
mengupload foto disertai caption yang panjang.
Difoto itu ada dua orang laki-laki sedang berdiri. Yang memakai baju
biru dongker sepertinya masih anak-anak, sedangkan pria yang merangkulnya
sepertinya lebih tua dari pada anak itu. Ternyata, anak laki-laki itu bernama
Gungun, dan pria yang merangkulnya adalah kakak asuhnya pada kegiatan Sabang
Merauke 2017.
Caption panjang itu ternyata menceritakan Gungun, Ken dan
Illafie yang saat itu menjadi ASM (Adik
Sabang Merauke). Awal pertemuan, mereka sempat bingung dengan perbedaan bahasa
dan dialek. Gungun yang berasal dari Natuna, Ken yang berasal dari Solo dan
Illafie yang berasal dari Salatiga merasa aneh dengan bahasa yang digunakan
masing-masing dari mereka. Ketika Gungun yang menyebut ‘larut malam’ dengan
bahasanya yang menjadi ‘tinggi malam’, duo jawa itu tertawa terbahak-bahak.
Sebaliknya, Gungun pun merasa aneh dengan logat mereka yang kental. Tapi pada
akhirnya, mereka saling belajar dari perbedaan itu. Gungun diajari bahasa jawa
oleh Ken, begitu pula sebaliknya. Bahkan Illafie bisa menyimpulkan kejadian ini
ke dalam sebuah kalimat “Kalau dialek orang Indonesia sama semua ya jadinya
tidak seru. Itu namanya bukan Indonesia.”, begitu ujarnya.
Cerita Gungun dkk tentang perbedaan bahasa dan dialek,
membuatku flashback ke tahun 2014
saat mengikuti kegiatan Pertukaran Pemuda Antar Provinsi (PPAP) di Provinsi
Bangka Belitung. Kurang lebih selama 30 hari aku tinggal di rumah orang tua
angkat disana dengan satu lagi teman dari daerah Sulawesi Selatan, namanya
Yeyen. Ketika sampai di Bangka, aku sakit selama 4 hari. Cuaca yang sangat
berbeda dengan Bandung, ditambah badan yang lelah membuat aku harus bedrest. By the way, Yeyen ini anaknya sangat aktif beda dengan aku yang
pendiam kalau baru kenal. Sudah lewat seminggu temanku yang tinggal di keluarga
berbeda memberi tahu aku bahwa Mama aku curhat ke Mamanya, katanya “Kenapa Okta
diem aja ya? Takutnya dia gak betah tinggal di rumah”. Dari situ aku sadar
bahwa aku sudah harus menyesuaikan diri dengan sekitar, jangan sampai
pendiamnya aku ini menimbulkan prasangka buruk dan bikin Mama gak enak. Setelah
kejadian itu, akhirnya aku bilang ke Mama bahwa aku memang pendiam kalau baru
kenal dan minta maaf sudah membuat Mama bingung. Mama bilang dia khawatir aku
merasa tidak cocok tinggal disana, Mama jadi gak enak dan bingung. Akhirnya,
kami berdua saling mengerti keadaan kami masing-masing dan komunikasi pun mulai
terbuka.
Aku juga pernah tertawa terbahak-bahak karena perbedaan
bahasa disana. Jadi Mama mempunyai warung kecil di depan rumah. Suatu hari, ada
ibu-ibu datang ke warungnya dan mau membeli lilin. Karena Mama sedang mandi,
aku melayani ibu-ibu tersebut lalu menanyakan harga lilin ke Mama. Mama bilang,
“harganya satu lima ratus”. Oke. Aku berpikir, satu lilin harganya Rp. 500 dan
terheran-heran sendiri karena harganya murah. Ibu-ibu itu bilang mau beli 3
lilin, aku totalkan harganya Rp.1.500. Ibu-ibu itu heran dan menanyakan harga
satu lilinnya berapa, aku jawab 500 dan menirukan perkataan Mama tadi. Ibu itu
tertawa, aku bingung. Ibu itu kemudian membayar Rp.4.500 dan ketika dia itu
sudah pergi aku masih bingung. Tak lama kemudian Mama datang, dengan polosnya
aku bertanya dan beliau juga tertawa. Ternyata maksud beliau satu lima ratus
itu “seribu lima ratus”, bukan satu lilin harganya 500. Aku pun ikut tertawa.
Untung ibu-ibu tadi baik, kalau tidak aku membuat rugi Mama. Hehe.
Mama dan Ayah disana sudah seperti orang tua sendiri,
anak kandung Mama dan Ayah pun sudah seperti adik sendiri, mereka sangat baik. Mama setiap hari
membuatkan aku sarapan, karena tahu aku terbiasa sarapan padahal beliau
sekeluarga tidak terbiasa sarapan. Mama tidak mau aku membantu pekerjaan
rumahnya, bahkan untuk sekedar membantu masak. Ayah yang pandai memasak, sering
membuatkan kwetiaw goreng untukku. Kata Mama, itu masakan andalan Ayah. Ayah
sering mengajakku duduk di ruang tamu, beliau menasehatiku untuk semangat
mencapai cita-cita dan teruslah belajar. Sampai beliau bilang mau menjenguk
kalau ke Jawa.
Kejadian paling mengharukan saat aku dan teman-teman yang
lain sudah harus pulang ke Bandung. Mama menangis tidak bisa tidur, Ayah diam
saja tetapi raut wajahnya sedih. Pagi-pagi buta, Ayah dan Mama sudah tidak ada
dirumah. Yang mengherankan, di ruang
makan ada ade. Aku heran kenapa dia tidak sekolah? Selesai bersiap-siap dan
packing, ternyata Mama dan Ayah sudah membelikan aku dan Yeyen oleh-oleh. Ade
pun tidak sekolah untuk mengantarkan kami ke bandara bersama Mama dan Ayah.
Total ada 4 keluarga asuh kami disana, dan mereka semua mengantarkan kami
sampai pintu masuk bandara sambil menagis tersedu-sedu. Alhasil, mata kita
semua sembab.
Empat tahun berlalu, dan rindu itu masih ada. Perasaan itu
masih sama, pelukan itu masih lekat dalam ingatan. Aku merasakan sendiri, bagaimana
orang lain yang baru kenal bisa meninggalkan kesan mendalam. Ketulusan itu memang nyata adanya. Jika memang
perbedaan itu memecah belah, bagaimana bisa 30 hari kami hidup dalam perbedaan terasa sangat menyenangkan? Kami
belajar dan saling mengajari lagu daerah masing-masing, kami belajar dan saling
mengajari tarian tradisional masing-masing daerah, kami belajar dan saling
mengajari bahasa masing-masing daerah, kami memasak dan memakan masakan
daerah masing-masing, dan kami merayakan perbedaan. Kami sadar, Indonesia itu beragam. Dan keberagaman tidak
harus disikapi dengan perpecahan. Ini bukan soal siapa yang lebih baik dan
siapa yang lebih buruk, ini bukan perdebatan yang harus dimenangkan. Ini perbedaan yang harus kita rayakan.
Post a Comment