Aku mendongak ke atas,
melihat ada layangan yang putus dan anak-anak berlarian mengejarnya. Mereka
tertawa terbahak-bahak sambil berlari, lalu berebut mengambil layangan yang
sudah jatuh ke tanah. Pemandangan itu mengingatkanku kepada masa kecilku, di
kampung.
Aku menghabiskan masa kecil sampai SMP di kampung. Mainanku bukan games di Ipad, dan tontonanku bukan youtube. Semua permainan anak-anak di kampung, dilakukan beramai-ramai. Mengasah komunikasi dan jiwa sosial, mengasah kecerdasan dan kerja sama, membuat diri dapat menerima kekalahan dan membanggakan kemenangan.
Kampung halamanku menyuguhkan berbagai pengalaman yang tak akan pernah terlupakan. Di halaman rumahku ada kebun singkong, yang hampir setiap sore daun dan batangnya dipertik, dan dijadikan mainan kalung oleh aku dan teman-temanku. Kebun singkong itu juga ditanami bunga-bunga, yang kelopak bunganya kami tempelkan di kuku sehingga seperti kuku palsu yang panjang. Pohon mangga di halaman rumahku pun tidak menganggur, sering dinaiki anak-anak sampai mereka turun sendiri karena di gigit semut. Jemuran tali yang sering digunakan untuk menjemur handuk, setiap sore kami sulap menjadi net permainan bulu tangkis. Bukan hanya anak-anak, ibu-ibu pun ikut bermain bersama.
Di pinggir rumahku, sering dijadikan tempat bermain kelereng. Anak laki-laki berteriak-teriak kegirangan, sampai aku penasaran dan ikut bermain. Dengan modal 10 kelereng, saya pulang membawa satu kresek kelereng. Anak laki-laki pun kesal karena dikalahkan oleh anak perempuan, sehingga sore itu mereka pulang dengan bersungut-sungut dan tidak mau bermain lagi bersamaku.
Tembok pinggir rumahku sering dijadikan tempat untuk jaga ketika bermain petak umpet. Spot terbaik bersembunyi adalah di tembok tetanggaku, atau di semak-semak. Sore itu, salah satu temanku terlihat kesal karena dia terus yang jaga. Sampai akhirnya dia menangis pulang karena dia kalah terus, dan permainan petak umpet sore itu bubar lebih cepat dari biasanya.
Sebrang rumahku, adalah SDku. Sekolah berwarna putih tulang itu, setiap sore selalu ramai. Anak-anak bermain boy-boyan dan kasti disana. Bolanya selalu jatuh di kolam ikan SD, dan anak laki-laki akhirnya memutuskan untuk mengambilnya dan kembali dengan kaki penuh lumpur kolam. Jika jatuhnya terlalu jauh, kami ambil galah yang panjang dan berusaha keras membuat bolanya ke pinggir. Terkadang yang kena bola meringis kesakitan karna lemparan yang terlalu kuat, biasanya anak perempuan yang kena lemparan bola oleh anak laki-laki. Sampai kaca SD yang pecah kena bola, kemudian kami dimarahi dan selama seminggu tidak bermain kasti disana.
Musim layangan, kami bermain di lapangan. Layangan yang kalah dan putus, biasanya terbang ke arah sawah. Kami berlarian mengejarnya, berlari di galengan sawah, sampai salah satu anak perempuan itu jatuh masuk ke sawah. Kami tertawa, sembari mengantarkan dia pulang. Layangan dengan harga murah itu, menjadi kebanggaan ketika didapatkan dari kasil kerja keras mengejarnya.
Ketika libur, aku dan teman-temanku memutuskan untuk ngaliwet di sawah. Kami memasak dengan hawu. Dan beberapa anak menangis karena asapnya yang membuat kelilipan. Kami makan di saung, dan pulangnya kami menyusuri sawah untuk melihat sungai citanduy. Konon katanya,di sungai tersebut ada buaya sehingga kami penasaran. Hanya 10 menit kami disana, lalu kembali lagi dan menikmati sore hari di bawah pohon besar di tengah-tengah sawah. Ketika musim panen tiba, kami selalu dimarahi kalau main di sawah. Karena padi yang sudah menguning, sering tidak sengaja kami injak. Dan ketika selesai main di sawah, kaki kami pasti gatal-gatal.
Yang paling ditunggu-tunggu di kampungku adalah ketika merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Ketika sudah masuk bulan agustus, kampungku ramai dengan dekorasi khas hari kemerdekaan. Bukan hanya bendera merah putih dan umbul-umbul, tetapi dekorasi gapura dan berbagai pernak-pernik lainnya. Keluargaku pernah membuat dekorasi dari ranting pohon, yang digantungi air berwarna merah dan putih. Tetanggaku beda lagi, dia membuat gantungan-gantungan hiasan depan rumah dengan gelas air mineral yang di cat merah dan putih. Setiap sore, orang dewasa menghadiri pertandingan voli antar RT. Mereka bersorak-sorak mendukung RT masing-masing, dan tak lupa ada komentator yang menambah riuh suasana.
Bapak-bapak, bergotong royong membuat pernak-pernik untuk karnaval di Desa yang akan diwakili oleh tiap RW. Setiap RW memiliki konsep yang berbeda dan kreatif. Karnaval itu akan dilaksanakan saat upacara hari peringatan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus. Pagi hari, kami berbondong-bondong menuju lapangan upacara dengan kostum dan pernak-pernik yang unik. Tak ada yang mengeluh lelah, karena memang sangat menyenangkan. RW terbaik, akan mendapatkan reward dari Bapak Kepala Desa.
Setelah upacara, kami melakukan perlombaan khas 17 Agustus di RW masing-masing. Dari mulai lomba memindahkan belut, memasukan paku ke dalam botol, makan kerupuk, balap karung, sampai yang paling ditunggu-tunggu adalah lomba panjat pinang. Lomba ini menjadi primadona karena dibutuhkan kerjasama dan hadiahnya yang menggiurkan. Bapak-bapak dan para pemuda saling bahu-membahu membentuk formasi agar salah satu dari mereka bisa sampai ke puncak pinang. Tapi, itu tidak mudah. Karena seringnya, mereka terpeleset oli yang sudah ditaburkan di pinang. Tetapi mereka tidak putus asa, hanya tertawa-tawa sampai berhasil mendapatkan hadiahnya. Ibu-ibu hanya bisa berteriak-teriak menyemangati sambil menonton.
Tidak terasa, 7 tahun sudah saya tinggal di kota dan meninggalkan kampung halaman. Melihat anak-anak yang sedang bermain dan tertawa bersama, membuat saya selalu #ingetkampung. Saya rindu masa kecil saya, saya rindu kampung saya. Disana saya membentuk karakter saya, menemukan keluarga baru, mengumpulkan kenangan-kenangan masa kecil yang tidak akan pernah terlupakan.
Kampung halamanku begitu asri. Dikelilingi sawah dan sungai tempat saya bermain, pohon-pohon yang rindang, kebun yang luas, serta sumber mata air yang bersih dan segar.
Kampung halamanku menyuguhkan pemandangan yang indah. Padi yang hijau sampai pada akhirnya menguning, petani yang sedang membajak sawah, ibu-ibu petani yang mengantarkan makan siang untuk suaminya, sampai yang paling indah adalah gunung Syawal yang menjadi background kampungku.
Kampung halamanku begitu romantis. Tetangga yang baik, anak-anak yang harmonis, penuh gotong royong dan saling membantu. Ketika dirumah tidak ada siapa-siapa dan tiba-tiba hujan, tetanggaku tanpa dimintai tolong menyelamatkan jemuranku ke tempat yang teduh. Dan banyak hal romantis lainnya disana.
Kampung halamanku kaya akan tradisi. Tradisi menyambut hari kemerdekaan, tradisi pawai obor, tradisi pemberian makanan ke mesjid ketika sudah masuk hari ke 20 puasa, tradisi kuliah subuh dan penandatanganan buku ramadhan, dan masih banyak tradisi lainnya.
Menghabiskan masa kanak-kanak disana membuatku menjadi pribadi yang positif. Permainan anak-anak yang selalu dilakukan bersama-sama membuat aku bisa bekerjasama dengan orang lain, mengasah komunikasi, dan merancang strategi. Sejak kecil, secara tidak langsung aku belajar strategi, menganalisa kelemahan dan kekurangan kelompok sehingga bisa memenangkan sebuah permainan. Bermain di alam membuat saya menjadi pribadi yang bisa mencintai alam. Sampai saat ini, hal yang aku cari ketika aku butuh refreshing adalah alam, bukan hal-hal negatif yang marak dilakukan remaja jaman sekarang. Dengan bermain, aku belajar menerima kekalahan dan mengusahakan kemenangan.
Di kampung halamanku, ketika aku ingin melihat pemandangan yang indah, maka aku harus berani dan mau berjalan jauh. Tetapi ketika sudah sampai, lelahnya akan terbayarkan dengan pemandangannya. Sama seperti hidup, hasil tidak akan menghianati usaha.
Kampung halamanku menawarkan keleluasaan bagi anak-anak bermain, ibu-ibu berkarya, dan bapak-bapak bekerja. Hal yang tidak bisa aku dapatkan sekarang, ketika tinggal di ibu kota.
Aku menghabiskan masa kecil sampai SMP di kampung. Mainanku bukan games di Ipad, dan tontonanku bukan youtube. Semua permainan anak-anak di kampung, dilakukan beramai-ramai. Mengasah komunikasi dan jiwa sosial, mengasah kecerdasan dan kerja sama, membuat diri dapat menerima kekalahan dan membanggakan kemenangan.
Kampung halamanku menyuguhkan berbagai pengalaman yang tak akan pernah terlupakan. Di halaman rumahku ada kebun singkong, yang hampir setiap sore daun dan batangnya dipertik, dan dijadikan mainan kalung oleh aku dan teman-temanku. Kebun singkong itu juga ditanami bunga-bunga, yang kelopak bunganya kami tempelkan di kuku sehingga seperti kuku palsu yang panjang. Pohon mangga di halaman rumahku pun tidak menganggur, sering dinaiki anak-anak sampai mereka turun sendiri karena di gigit semut. Jemuran tali yang sering digunakan untuk menjemur handuk, setiap sore kami sulap menjadi net permainan bulu tangkis. Bukan hanya anak-anak, ibu-ibu pun ikut bermain bersama.
Di pinggir rumahku, sering dijadikan tempat bermain kelereng. Anak laki-laki berteriak-teriak kegirangan, sampai aku penasaran dan ikut bermain. Dengan modal 10 kelereng, saya pulang membawa satu kresek kelereng. Anak laki-laki pun kesal karena dikalahkan oleh anak perempuan, sehingga sore itu mereka pulang dengan bersungut-sungut dan tidak mau bermain lagi bersamaku.
Tembok pinggir rumahku sering dijadikan tempat untuk jaga ketika bermain petak umpet. Spot terbaik bersembunyi adalah di tembok tetanggaku, atau di semak-semak. Sore itu, salah satu temanku terlihat kesal karena dia terus yang jaga. Sampai akhirnya dia menangis pulang karena dia kalah terus, dan permainan petak umpet sore itu bubar lebih cepat dari biasanya.
Sebrang rumahku, adalah SDku. Sekolah berwarna putih tulang itu, setiap sore selalu ramai. Anak-anak bermain boy-boyan dan kasti disana. Bolanya selalu jatuh di kolam ikan SD, dan anak laki-laki akhirnya memutuskan untuk mengambilnya dan kembali dengan kaki penuh lumpur kolam. Jika jatuhnya terlalu jauh, kami ambil galah yang panjang dan berusaha keras membuat bolanya ke pinggir. Terkadang yang kena bola meringis kesakitan karna lemparan yang terlalu kuat, biasanya anak perempuan yang kena lemparan bola oleh anak laki-laki. Sampai kaca SD yang pecah kena bola, kemudian kami dimarahi dan selama seminggu tidak bermain kasti disana.
Musim layangan, kami bermain di lapangan. Layangan yang kalah dan putus, biasanya terbang ke arah sawah. Kami berlarian mengejarnya, berlari di galengan sawah, sampai salah satu anak perempuan itu jatuh masuk ke sawah. Kami tertawa, sembari mengantarkan dia pulang. Layangan dengan harga murah itu, menjadi kebanggaan ketika didapatkan dari kasil kerja keras mengejarnya.
Ketika libur, aku dan teman-temanku memutuskan untuk ngaliwet di sawah. Kami memasak dengan hawu. Dan beberapa anak menangis karena asapnya yang membuat kelilipan. Kami makan di saung, dan pulangnya kami menyusuri sawah untuk melihat sungai citanduy. Konon katanya,di sungai tersebut ada buaya sehingga kami penasaran. Hanya 10 menit kami disana, lalu kembali lagi dan menikmati sore hari di bawah pohon besar di tengah-tengah sawah. Ketika musim panen tiba, kami selalu dimarahi kalau main di sawah. Karena padi yang sudah menguning, sering tidak sengaja kami injak. Dan ketika selesai main di sawah, kaki kami pasti gatal-gatal.
Yang paling ditunggu-tunggu di kampungku adalah ketika merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Ketika sudah masuk bulan agustus, kampungku ramai dengan dekorasi khas hari kemerdekaan. Bukan hanya bendera merah putih dan umbul-umbul, tetapi dekorasi gapura dan berbagai pernak-pernik lainnya. Keluargaku pernah membuat dekorasi dari ranting pohon, yang digantungi air berwarna merah dan putih. Tetanggaku beda lagi, dia membuat gantungan-gantungan hiasan depan rumah dengan gelas air mineral yang di cat merah dan putih. Setiap sore, orang dewasa menghadiri pertandingan voli antar RT. Mereka bersorak-sorak mendukung RT masing-masing, dan tak lupa ada komentator yang menambah riuh suasana.
Bapak-bapak, bergotong royong membuat pernak-pernik untuk karnaval di Desa yang akan diwakili oleh tiap RW. Setiap RW memiliki konsep yang berbeda dan kreatif. Karnaval itu akan dilaksanakan saat upacara hari peringatan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus. Pagi hari, kami berbondong-bondong menuju lapangan upacara dengan kostum dan pernak-pernik yang unik. Tak ada yang mengeluh lelah, karena memang sangat menyenangkan. RW terbaik, akan mendapatkan reward dari Bapak Kepala Desa.
Setelah upacara, kami melakukan perlombaan khas 17 Agustus di RW masing-masing. Dari mulai lomba memindahkan belut, memasukan paku ke dalam botol, makan kerupuk, balap karung, sampai yang paling ditunggu-tunggu adalah lomba panjat pinang. Lomba ini menjadi primadona karena dibutuhkan kerjasama dan hadiahnya yang menggiurkan. Bapak-bapak dan para pemuda saling bahu-membahu membentuk formasi agar salah satu dari mereka bisa sampai ke puncak pinang. Tapi, itu tidak mudah. Karena seringnya, mereka terpeleset oli yang sudah ditaburkan di pinang. Tetapi mereka tidak putus asa, hanya tertawa-tawa sampai berhasil mendapatkan hadiahnya. Ibu-ibu hanya bisa berteriak-teriak menyemangati sambil menonton.
Tidak terasa, 7 tahun sudah saya tinggal di kota dan meninggalkan kampung halaman. Melihat anak-anak yang sedang bermain dan tertawa bersama, membuat saya selalu #ingetkampung. Saya rindu masa kecil saya, saya rindu kampung saya. Disana saya membentuk karakter saya, menemukan keluarga baru, mengumpulkan kenangan-kenangan masa kecil yang tidak akan pernah terlupakan.
Kampung halamanku begitu asri. Dikelilingi sawah dan sungai tempat saya bermain, pohon-pohon yang rindang, kebun yang luas, serta sumber mata air yang bersih dan segar.
Kampung halamanku menyuguhkan pemandangan yang indah. Padi yang hijau sampai pada akhirnya menguning, petani yang sedang membajak sawah, ibu-ibu petani yang mengantarkan makan siang untuk suaminya, sampai yang paling indah adalah gunung Syawal yang menjadi background kampungku.
Kampung halamanku begitu romantis. Tetangga yang baik, anak-anak yang harmonis, penuh gotong royong dan saling membantu. Ketika dirumah tidak ada siapa-siapa dan tiba-tiba hujan, tetanggaku tanpa dimintai tolong menyelamatkan jemuranku ke tempat yang teduh. Dan banyak hal romantis lainnya disana.
Kampung halamanku kaya akan tradisi. Tradisi menyambut hari kemerdekaan, tradisi pawai obor, tradisi pemberian makanan ke mesjid ketika sudah masuk hari ke 20 puasa, tradisi kuliah subuh dan penandatanganan buku ramadhan, dan masih banyak tradisi lainnya.
Menghabiskan masa kanak-kanak disana membuatku menjadi pribadi yang positif. Permainan anak-anak yang selalu dilakukan bersama-sama membuat aku bisa bekerjasama dengan orang lain, mengasah komunikasi, dan merancang strategi. Sejak kecil, secara tidak langsung aku belajar strategi, menganalisa kelemahan dan kekurangan kelompok sehingga bisa memenangkan sebuah permainan. Bermain di alam membuat saya menjadi pribadi yang bisa mencintai alam. Sampai saat ini, hal yang aku cari ketika aku butuh refreshing adalah alam, bukan hal-hal negatif yang marak dilakukan remaja jaman sekarang. Dengan bermain, aku belajar menerima kekalahan dan mengusahakan kemenangan.
Di kampung halamanku, ketika aku ingin melihat pemandangan yang indah, maka aku harus berani dan mau berjalan jauh. Tetapi ketika sudah sampai, lelahnya akan terbayarkan dengan pemandangannya. Sama seperti hidup, hasil tidak akan menghianati usaha.
Kampung halamanku menawarkan keleluasaan bagi anak-anak bermain, ibu-ibu berkarya, dan bapak-bapak bekerja. Hal yang tidak bisa aku dapatkan sekarang, ketika tinggal di ibu kota.
Post a Comment