Setiap pergantian tahun baru masehi ini, selalu dihadapkan
dalam 2 pilihan. Mencari keramaian, atau ketenangan. Perdebatan dalam merayakan
tahun baru dari tahun ke tahun juga tetap ada. Presepsi orang mengenai perayaan
tahun baru sangat bergam, dinilai dari perspektif agama, sosial, ekonomi, dll.
Orang-orang tetap pada keyakinannya. Salahnya, ada orang yang memaksakan
keyakinannya pada orang lain dan itu yang mejadi pemacu perdebatan.
Ada orang yang merayakan tahun baru dengan gemerlap kembang
api, ada juga yang merayakannya di atas sejadah. Yang merayakan dengan
hiruk-pikuk kemeriahan, tidak bisa mencibir orang yang merayakan di atas
sejadah, begitu pun sebaliknya. Orang yang memiliki resolusi di tahun 2018,
tidak bisa mencemooh orang-orang yang tidak memiliki resolusi di tahun ini.
Karena siapa tahu, resolusinya hanya ingin diketahui oleh dia dan Tuhannya. Orang
yang diam dirumah tidak bisa ngomel-ngomel bisingnya suara kembang api, karena
di sisi lain banyak orang yang tidak pernah menikmati kembang api dan hanya
bisa dilihat di moment tahun baru. Intinya, tidak bisa menjudge seenaknya atas
apa yang orang lain lakukan, karena kita tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi.
Aku mencoba mengamati pergantian tahun di Ancol. Mengesampingkan perdebatan mengenai perayaan tahun baru,
menurutku anggaplah tahun baru sebagai sebuah pesta rakyat. Mungkin bagi sebagian orang, sudah
tidak aneh bermain kembang api atau pun menonton sebuah konser di panggung
hiburan. Tapi sebagian orang lainnya mungkin sangat jarang merasakan hal
demikian.
Moment tahun baru inilah yang mereka gunakan untuk berekreasi dan
berkumpul bersama keluarganya. Mereka rela berdesak-desakan dengan ribuan orang
lainnya untuk menonton kembang api panggung hiburan. Diantaranya banyak yang menyewa tikar
untuk sekedar duduk, bahkan tidur. Mungkin uang Rp. 25.000 yang mereka bayarkan
sebagai tiket masuk, hasil menabung selama beberapa hari atau bahkan minggu. Aku berpikir "Kasian banget itu anak kecil di bawa ke tempat rame gini. Orang tuanya gak kasian apa?". Kemudian aku berpikir lagi, mungkin saja anaknya yang meminta pergi? Bisa saja dia lebih bahagia tidur di tikar diantara ribuan orang selepas melihat kembang api dari pada tidur di rumah dan melewatkan kemeriahannya. Bisa saja ini pertama kalinya dia bisa menyaksikan kembang api dan dia sangat bahagia hingga kelelahan. Dan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika tidak
dilihat dari satu perspektif.
Senang
sekali melihat orang-orang menonton kembang api dengan mata berbinar. Ribuan orang
mengeluarkan ponsel mereka, dan merekam keindahan yang mereka lihat. Sebagian
lagi hanya terpaku, dan menggenggam tangan pasangannya erat-erat. Anak-anak
riang melihat cahaya-cahaya di langit yang bersahut-sahutan. An amazing view for my new year eve.
Jadi, menurutku kita sama-sama belajar untuk melihat sebuah
permasalahan dari berbagai perspektif dan belajar bertoleransi. Kita merayakan tahun baru dengan keyakinan dan cara kita masing-masing. Selagi itu bukan sebuah kejahatan atau keburukan, kenapa tidak? Yang merasa bising
dengan perayaan ini mungkin bisa memaklumi sebentar. Diantara kebisingan itu, mungkin
ada kebahagiaan ayah yang mendapatkan nafkah dengan berjualan di tahun baru,
ada kebahagiaan orang-orang yang meyaksikan kembang api dan menikmati hiburan
dari panggung musik yang hanya bisa mereka dapatkan setahun sekali.
Jika nanti
ada yang menyangkal dengan mengambil perspektif dari orang yang merasakan
kerugian dari perayaan tahun baru ini, silahkan. Lebih banyak perspektif, lebih
baik. Ini hanya sebuah perspektif saya pribadi.
Selamat menorehkan cerita di tahun 2018!
![]() |
Photo: Pinterest |
Post a Comment