Pada dasarnya, ini merupakan program yang sangat menarik. Universitas "memaksa" mahasiswanya untuk dapat terjun ke masyarakat. Memaksa disini dalam artian positif dan sangat baik. Program kerja diarahkan, KKN dibuat tematik sesuai dengan kebutuhan di daerah yang akan ditinggali. Sistem pemilihan tempat dipilih secara serentak dan tidak boleh ada lebih dari 2 orang dengan jurusan yang sama di satu desa. Tujuannya, agar mahasiswa membaur dan saling mengenal satu sama lain. Ilmu yang beragam di kelompok juga diharapkan agar bisa saling mengisi. Tapi, apakah sebuah paksaan tersebut menghasilkan sebuah hal yang baik? Atau lama kelamaan paksaan ini akan berubah menjadi kesadaran?
KKN menempatkan mahasiswa di ratusan desa yang berbeda. Beberapa memang desa terpencil. Mayoritas ingin memilih desa yang masih dekat dengan kota karena tidak mau keluar dari zona nyamannya. Kabar-kabar miring berdatangan karena konon katanya beberapa tempat strategis sudah di pesan khusus. Beberapa sudah stres duluan karena membayangkan akan tinggal di negeri antah berantah dan tidak bisa membayangkan bagaimana hidup disana. Hey, bukankah menyenangkan hidup di tempat baru? Ini semua tentang adaptasi. Mungkin di awal akan sulit, tapi lama kelamaan berjalan dengan sendirinya.
Lupakan permasalahan wilayah dan tempat tinggal, mari berbicara tentang program kerja. Kelompok yang berisikan belasan orang tersebut, tidak sepenuhnya antusias dengan KKN. Beberapa orang menganggap ini beban, apalagi jika berbicara mengenai uang iuran yang harus dibayar. Program kerja dibuat hanya mengikuti contoh tahun lalu. Anggota kelompok cenderung cari aman, membuat program kerja yang mudah sehingga cepat selesai. Ketua cenderung menjadi tumbal. Hidup dengan orang-orang yang baru dikenal juga untuk beberapa orang menjadi sangat menyebalkan. Kebiasaan yang berbeda, karakter yang berbeda, harus ada dalam satu atap. Tak jarang, perselisihan terjadi karena kurangnya toleransi. Tak jarang juga banyak mahasiswa yang merasa dirinya lebih dari yang lain sehingga menjadi otoriter. Ada juga mahasiswa yang perhitungan, merasa dirinya paling lelah dalam mengerjakan program kerja, dan ada juga yang tidak peka melihat temannya sibuk dia malah asik tidur. Kita tidak bisa menyalahkan para mahasiswa pemalas itu, karena pada dasarnya juga mereka tidak memilih dan tidak mau melakukan KKN ini. Bahkan, ada yang berpendapat dengan membayar iuran saja, nilai KKNmu aman.
Hmm, benar juga. Bagaimana menilai sebuah pengabdian dalam masyarakat? Indikator yang dinilai seharusnya tidak sebatas keberhasilan sebuah program kerja. Apakah mahasiswa yang berhasil menyelesaikan program kerjanya tetapi tidak pernah bergaul dengan warga adalah yang berhak mendapat nilai lebih baik dari pada mahasiswa lain yang bergaul dengan warga dan tiap malam melakukan ronda? Ataukah mahasiswa yang sibuk dengan program kerjanya tetapi tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah berhak mendapat predikat rajin dan nilai baik? Penilaiannya semu.
Banyak mahasiswa yang tidak menikmati KKNnya karena tidak adanya kesadaran tersebut. Seharusnya, ini dijadikan momen berharga untuk dapat terjun langsung dimasyarakat. Karena pada dasarnya, ilmu yang kita dapat di bangku perkuliahan belum tentu relevan untuk menjadi solusi dalam permasalahan masyarakat. Kita berada disana bukan untuk mengajari masyarakat, tetapi berbagi. Malahan pada akhirnya kita yang banyak belajar dari masyarakat. Konsep ini saya dapatkan dan baru saya sadari ketika melakukan pengabdian masyarakat ke Maluku tahun 2017 bersama YouCan Indonesia.
Perbedaannya, ketika KKN saya bersama dengan orang-orang yang "dipaksa" sedangkan ketika di Maluku saya bersama orang-orang yang memang sadar dan membawa misi disana. Masing-masing dari kami yang terbagi dalam beberapa konsentrasi bidang benar-benar merumuskan program kerja apa saja yang akan kita bawa kesana. Pada kenyataannya, kita tidak langsung mensosialisasikan dan menjalankan program kerja itu. Kita berbaur dengan masyarakat dahulu, berbincang panjang, menganalisis permasalahan di masyarakat, dan merumuskan program kerja apa yang tepat? Apakah program kerja yang kita bawa relevan dengan keadaan masyarakat disana? Dan yang penting program kerja kita harus benar-benar menghasilkan sesuatu disana.
Setelah evaluasi program kerja, kami baru mensosialisasikannya sesuai dengan sasaran program kerjanya. Salah satu contohnya adalah program penyuluhan inovasi produk dan packaging untuk IRT yang berwirausaha disana. Kami membawa contoh produk yang inovatif dan mempresentasikannya dihadapan ibu-ibu disana. Program kerja yang seharusnya beres dalam satu hari membutuhkan waktu lagi untuk presentasi inovasi produk yang diajukan ibu-ibu disana. Hasilnya, ada sebanyak sembilan produk makanan (snack) inovasi baru yang dijual sebagai buah tangan bagi yang berkunjung ke Desa Lebetawi, Maluku. Bahagianya melihat program kerja kami membuahkan hasil dan membantu masyarakat disana adalah bayaran yang tak terhingga nilainya.
Ah baru ingat. Saat KKN, ada beberapa permasalahan. Beberapa oknum disana ada yang dirasa matrealistis, menganggap dengan datangnya mahasiswa yang dari kota bisa mereka mintai dana seenaknya. Seperti meminta adanya perpisahan KKN dengan panggung dan musik dangdut. Mungkin disatu sisi mereka ingin ada hiburan, tetapi menurut saya lebih baik uangnya digunakan untuk membantu anak-anak di bidang pendidikan atau dibelikan alat solat untuk disimpan di mesjid desa, mungkin akan lebih bermanfaat.
KKN di beberapa Universitas bukan sebuah mata kuliah wajib. Jadi, mahasiswa bisa memilih untuk melaksanakan KKN atau tidak. Sepertinya dengan cara seperti ini dapat menyeleksi mahasiswa yang benar-benar mengikuti KKN karena dia ingin KKN, bukan hanya sekedar ikut-ikutan. Dan program kerja yang dihasilkan juga lebih maksimal.
Jadi menurut pengalaman kalian, KKN itu kesadaran atau sekedar formalitas?
Ilmu yang diaplikasikan jauh gan, kkn ujung ujungnya jadi kuli juga, gak nyambung sama jurusan yang di ambil.
ReplyDelete