• by Oktavia Wijaya
Pada dasarnya, ini merupakan program yang sangat menarik. Universitas "memaksa" mahasiswanya untuk dapat terjun ke masyarakat. Memaksa disini dalam artian positif dan sangat baik. Program kerja diarahkan, KKN dibuat tematik sesuai dengan kebutuhan di daerah yang akan ditinggali. Sistem pemilihan tempat dipilih secara serentak dan tidak boleh ada lebih dari 2 orang dengan jurusan yang sama di satu desa. Tujuannya, agar mahasiswa membaur dan saling mengenal satu sama lain. Ilmu yang beragam di kelompok juga diharapkan agar bisa saling mengisi. Tapi, apakah sebuah paksaan tersebut menghasilkan sebuah hal yang baik? Atau lama kelamaan paksaan ini akan berubah menjadi kesadaran?
KKN menempatkan mahasiswa di ratusan desa yang berbeda. Beberapa memang desa terpencil. Mayoritas ingin memilih desa yang masih dekat dengan kota karena tidak mau keluar dari zona nyamannya. Kabar-kabar miring berdatangan karena konon katanya beberapa tempat strategis sudah di pesan khusus. Beberapa sudah stres duluan karena membayangkan akan tinggal di negeri antah berantah dan tidak bisa membayangkan bagaimana hidup disana. Hey, bukankah menyenangkan hidup di tempat baru? Ini semua tentang adaptasi. Mungkin di awal akan sulit, tapi lama kelamaan berjalan dengan sendirinya.
Lupakan permasalahan wilayah dan tempat tinggal, mari berbicara tentang program kerja. Kelompok yang berisikan belasan orang tersebut, tidak sepenuhnya antusias dengan KKN. Beberapa orang menganggap ini beban, apalagi jika berbicara mengenai uang iuran yang harus dibayar. Program kerja dibuat hanya mengikuti contoh tahun lalu. Anggota kelompok cenderung cari aman, membuat program kerja yang mudah sehingga cepat selesai. Ketua cenderung menjadi tumbal. Hidup dengan orang-orang yang baru dikenal juga untuk beberapa orang menjadi sangat menyebalkan. Kebiasaan yang berbeda, karakter yang berbeda, harus ada dalam satu atap. Tak jarang, perselisihan terjadi karena kurangnya toleransi. Tak jarang juga banyak mahasiswa yang merasa dirinya lebih dari yang lain sehingga menjadi otoriter. Ada juga mahasiswa yang perhitungan, merasa dirinya paling lelah dalam mengerjakan program kerja, dan ada juga yang tidak peka melihat temannya sibuk dia malah asik tidur. Kita tidak bisa menyalahkan para mahasiswa pemalas itu, karena pada dasarnya juga mereka tidak memilih dan tidak mau melakukan KKN ini. Bahkan, ada yang berpendapat dengan membayar iuran saja, nilai KKNmu aman.
Hmm, benar juga. Bagaimana menilai sebuah pengabdian dalam masyarakat? Indikator yang dinilai seharusnya tidak sebatas keberhasilan sebuah program kerja. Apakah mahasiswa yang berhasil menyelesaikan program kerjanya tetapi tidak pernah bergaul dengan warga adalah yang berhak mendapat nilai lebih baik dari pada mahasiswa lain yang bergaul dengan warga dan tiap malam melakukan ronda? Ataukah mahasiswa yang sibuk dengan program kerjanya tetapi tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah berhak mendapat predikat rajin dan nilai baik? Penilaiannya semu.
Banyak mahasiswa yang tidak menikmati KKNnya karena tidak adanya kesadaran tersebut. Seharusnya, ini dijadikan momen berharga untuk dapat terjun langsung dimasyarakat. Karena pada dasarnya, ilmu yang kita dapat di bangku perkuliahan belum tentu relevan untuk menjadi solusi dalam permasalahan masyarakat. Kita berada disana bukan untuk mengajari masyarakat, tetapi berbagi. Malahan pada akhirnya kita yang banyak belajar dari masyarakat. Konsep ini saya dapatkan dan baru saya sadari ketika melakukan pengabdian masyarakat ke Maluku tahun 2017 bersama YouCan Indonesia.
Perbedaannya, ketika KKN saya bersama dengan orang-orang yang "dipaksa" sedangkan ketika di Maluku saya bersama orang-orang yang memang sadar dan membawa misi disana. Masing-masing dari kami yang terbagi dalam beberapa konsentrasi bidang benar-benar merumuskan program kerja apa saja yang akan kita bawa kesana. Pada kenyataannya, kita tidak langsung mensosialisasikan dan menjalankan program kerja itu. Kita berbaur dengan masyarakat dahulu, berbincang panjang, menganalisis permasalahan di masyarakat, dan merumuskan program kerja apa yang tepat? Apakah program kerja yang kita bawa relevan dengan keadaan masyarakat disana? Dan yang penting program kerja kita harus benar-benar menghasilkan sesuatu disana.
Setelah evaluasi program kerja, kami baru mensosialisasikannya sesuai dengan sasaran program kerjanya. Salah satu contohnya adalah program penyuluhan inovasi produk dan packaging untuk IRT yang berwirausaha disana. Kami membawa contoh produk yang inovatif dan mempresentasikannya dihadapan ibu-ibu disana. Program kerja yang seharusnya beres dalam satu hari membutuhkan waktu lagi untuk presentasi inovasi produk yang diajukan ibu-ibu disana. Hasilnya, ada sebanyak sembilan produk makanan (snack) inovasi baru yang dijual sebagai buah tangan bagi yang berkunjung ke Desa Lebetawi, Maluku. Bahagianya melihat program kerja kami membuahkan hasil dan membantu masyarakat disana adalah bayaran yang tak terhingga nilainya.
Ah baru ingat. Saat KKN, ada beberapa permasalahan. Beberapa oknum disana ada yang dirasa matrealistis, menganggap dengan datangnya mahasiswa yang dari kota bisa mereka mintai dana seenaknya. Seperti meminta adanya perpisahan KKN dengan panggung dan musik dangdut. Mungkin disatu sisi mereka ingin ada hiburan, tetapi menurut saya lebih baik uangnya digunakan untuk membantu anak-anak di bidang pendidikan atau dibelikan alat solat untuk disimpan di mesjid desa, mungkin akan lebih bermanfaat.
KKN di beberapa Universitas bukan sebuah mata kuliah wajib. Jadi, mahasiswa bisa memilih untuk melaksanakan KKN atau tidak. Sepertinya dengan cara seperti ini dapat menyeleksi mahasiswa yang benar-benar mengikuti KKN karena dia ingin KKN, bukan hanya sekedar ikut-ikutan. Dan program kerja yang dihasilkan juga lebih maksimal.
Jadi menurut pengalaman kalian, KKN itu kesadaran atau sekedar formalitas?
• by Oktavia Wijaya
Setiap pergantian tahun baru masehi ini, selalu dihadapkan
dalam 2 pilihan. Mencari keramaian, atau ketenangan. Perdebatan dalam merayakan
tahun baru dari tahun ke tahun juga tetap ada. Presepsi orang mengenai perayaan
tahun baru sangat bergam, dinilai dari perspektif agama, sosial, ekonomi, dll.
Orang-orang tetap pada keyakinannya. Salahnya, ada orang yang memaksakan
keyakinannya pada orang lain dan itu yang mejadi pemacu perdebatan.
Ada orang yang merayakan tahun baru dengan gemerlap kembang
api, ada juga yang merayakannya di atas sejadah. Yang merayakan dengan
hiruk-pikuk kemeriahan, tidak bisa mencibir orang yang merayakan di atas
sejadah, begitu pun sebaliknya. Orang yang memiliki resolusi di tahun 2018,
tidak bisa mencemooh orang-orang yang tidak memiliki resolusi di tahun ini.
Karena siapa tahu, resolusinya hanya ingin diketahui oleh dia dan Tuhannya. Orang
yang diam dirumah tidak bisa ngomel-ngomel bisingnya suara kembang api, karena
di sisi lain banyak orang yang tidak pernah menikmati kembang api dan hanya
bisa dilihat di moment tahun baru. Intinya, tidak bisa menjudge seenaknya atas
apa yang orang lain lakukan, karena kita tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi.
Aku mencoba mengamati pergantian tahun di Ancol. Mengesampingkan perdebatan mengenai perayaan tahun baru,
menurutku anggaplah tahun baru sebagai sebuah pesta rakyat. Mungkin bagi sebagian orang, sudah
tidak aneh bermain kembang api atau pun menonton sebuah konser di panggung
hiburan. Tapi sebagian orang lainnya mungkin sangat jarang merasakan hal
demikian.
Moment tahun baru inilah yang mereka gunakan untuk berekreasi dan
berkumpul bersama keluarganya. Mereka rela berdesak-desakan dengan ribuan orang
lainnya untuk menonton kembang api panggung hiburan. Diantaranya banyak yang menyewa tikar
untuk sekedar duduk, bahkan tidur. Mungkin uang Rp. 25.000 yang mereka bayarkan
sebagai tiket masuk, hasil menabung selama beberapa hari atau bahkan minggu. Aku berpikir "Kasian banget itu anak kecil di bawa ke tempat rame gini. Orang tuanya gak kasian apa?". Kemudian aku berpikir lagi, mungkin saja anaknya yang meminta pergi? Bisa saja dia lebih bahagia tidur di tikar diantara ribuan orang selepas melihat kembang api dari pada tidur di rumah dan melewatkan kemeriahannya. Bisa saja ini pertama kalinya dia bisa menyaksikan kembang api dan dia sangat bahagia hingga kelelahan. Dan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika tidak
dilihat dari satu perspektif.
Senang
sekali melihat orang-orang menonton kembang api dengan mata berbinar. Ribuan orang
mengeluarkan ponsel mereka, dan merekam keindahan yang mereka lihat. Sebagian
lagi hanya terpaku, dan menggenggam tangan pasangannya erat-erat. Anak-anak
riang melihat cahaya-cahaya di langit yang bersahut-sahutan. An amazing view for my new year eve.
Jadi, menurutku kita sama-sama belajar untuk melihat sebuah
permasalahan dari berbagai perspektif dan belajar bertoleransi. Kita merayakan tahun baru dengan keyakinan dan cara kita masing-masing. Selagi itu bukan sebuah kejahatan atau keburukan, kenapa tidak? Yang merasa bising
dengan perayaan ini mungkin bisa memaklumi sebentar. Diantara kebisingan itu, mungkin
ada kebahagiaan ayah yang mendapatkan nafkah dengan berjualan di tahun baru,
ada kebahagiaan orang-orang yang meyaksikan kembang api dan menikmati hiburan
dari panggung musik yang hanya bisa mereka dapatkan setahun sekali.
Jika nanti
ada yang menyangkal dengan mengambil perspektif dari orang yang merasakan
kerugian dari perayaan tahun baru ini, silahkan. Lebih banyak perspektif, lebih
baik. Ini hanya sebuah perspektif saya pribadi.
Selamat menorehkan cerita di tahun 2018!
![]() |
Photo: Pinterest |
Subscribe to:
Posts (Atom)
Social Icons