• by Oktavia Wijaya
Males ah ke Jakarta, macet.
Siap-siap ya tinggal di Jakarta, ruwet.
Orang Jakarta mah pada gak mau ngalah.
Jakarta keras!
Males banget naik angkutan umum di Jakarta, pasti berdiri.
Jakarta tuh polusi.
Jakarta...
Jakarta...
Jakarta...
Ibu Kota NKRI ini memang menyimpan berjuta cerita kekacauan di dalamnya. Dengan penduduk yang melebihi kapasitas wilayah, dengan budaya yang ceplas-ceplos, menjadikan Jakarta sebagai kota yang dianggap keras.
Seminggu menjadi orang Jakarta, aku memperhatikan kota ini dari pandangan individu sebagai penduduk baru di Jakarta yang mengenal Jakarta dari nol. Ketika dahulu setiap berkunjung ke ibu kota menggunakan taksi atau gojek, setelah menjadi penduduk di sini saya mencoba menggunakan transportasi umum, transjakarta.
Transportasi umum yang diharapkan bisa mengurangi kemacetan ibu kota ini ternyata sangat digemari warga. Karena harganya yang murah, dan punya jalur sendiri sehingga cukup membantu ketika macet, membuat penumpang tak masalah ketika harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Dan di tempat inilah, saya melihat sisi lain dari Jakarta. Toleransi.
Ungkapan-ungkapan mengenai kejamnya Jakarta serasa terlalu menghakimi. Padahal Jakarta tidak sekeras itu. Brand image buruknya Jakarta tergantung perspektif pemikiran setiap individu. Dari sudut mana kita melihat, dari situ lahir pemikiran. Dan di transportasi umum ini, saya menyaksikan toleransi antar individu yang sangat baik.
Pagi ini, saya berdiri di dekat tempat khusus untuk orang difabel. Disamping saya, ada 2 orang ibu-ibu yang berdiri. Sesampainya di halte, seorang wanita yang duduk beranjak untuk turun. Ibu yang terlihat kelelahan berdiri ini, tersenyum sumringah karena mendapatkan tempat duduk. Tak lama busway berjalan, ada seorang ibu bersama anaknya yang difabel naik ke busway. Orang-orang yang berdiri di tempat khusus difabel itu menyingkir dari sana, mempersilahkan ibu tersebut untuk menaruh kursi roda anaknya di tempat yang disediakan. ibu-ibu yang baru saja duduk tadi, kemudian berdiri mempersilahkan ibu dari anak yang difabel tersebut untuk duduk. Padahal, ibu yang terlihat kelelahan berdiri itu baru saja duduk selama beberapa detik saja, tetapi dia dengan besar hati mempersilahkan orang lain untuk duduk disitu.
Beberapa hari yang lalu, di bus transjakarta yang sama, saya melihat seorang bapak yang sudah cukup tua mempersilahkan seorang ibu yang membawa anak kecil untuk duduk di kursinya. Padahal, bapak itu sepertinya akan sangat kelelahan jika beliau berdiri. Tetapi, dengan senyum sumringah, dia mempersilahkan ibu itu untuk duduk di sana. Ketika bapak tua itu berdiri, anak muda dengan sigap langsung mempersilahkan bapak tersebut untuk duduk di kursinya di daerah belakang bus. Dia dengan sigap menjemput bapak itu sambil memapah ke kursinya.
Dari situ saya menyadari, bahwa sebuah kebaikan itu akan menular. Jangan takut untuk menjadi orang baik. Ucapan mempersilahkan duduk, ucapan terima kasih, senyuman bahagia, merupakan pemandangan indah yang menghilangkan segala keluhan-keluhan mengenai kerasnya ibu kota.
Anggapan-anggapan miring, ternyata tidak harus ditelan bulat-bulat. Anggapan itu tidak mutlak. Sudut pandang itu pilihan. Selalu mencoba mencari cerita baru dari Jakarta, bukan berdasarkan cerita orang. Ternyata, saya menemukan sudut pandang orang Jakarta yang toleran, bukan orang Jakarta yang katanya gak toleran.
Pagi ini, saya berdiri di dekat tempat khusus untuk orang difabel. Disamping saya, ada 2 orang ibu-ibu yang berdiri. Sesampainya di halte, seorang wanita yang duduk beranjak untuk turun. Ibu yang terlihat kelelahan berdiri ini, tersenyum sumringah karena mendapatkan tempat duduk. Tak lama busway berjalan, ada seorang ibu bersama anaknya yang difabel naik ke busway. Orang-orang yang berdiri di tempat khusus difabel itu menyingkir dari sana, mempersilahkan ibu tersebut untuk menaruh kursi roda anaknya di tempat yang disediakan. ibu-ibu yang baru saja duduk tadi, kemudian berdiri mempersilahkan ibu dari anak yang difabel tersebut untuk duduk. Padahal, ibu yang terlihat kelelahan berdiri itu baru saja duduk selama beberapa detik saja, tetapi dia dengan besar hati mempersilahkan orang lain untuk duduk disitu.
Beberapa hari yang lalu, di bus transjakarta yang sama, saya melihat seorang bapak yang sudah cukup tua mempersilahkan seorang ibu yang membawa anak kecil untuk duduk di kursinya. Padahal, bapak itu sepertinya akan sangat kelelahan jika beliau berdiri. Tetapi, dengan senyum sumringah, dia mempersilahkan ibu itu untuk duduk di sana. Ketika bapak tua itu berdiri, anak muda dengan sigap langsung mempersilahkan bapak tersebut untuk duduk di kursinya di daerah belakang bus. Dia dengan sigap menjemput bapak itu sambil memapah ke kursinya.
Dari situ saya menyadari, bahwa sebuah kebaikan itu akan menular. Jangan takut untuk menjadi orang baik. Ucapan mempersilahkan duduk, ucapan terima kasih, senyuman bahagia, merupakan pemandangan indah yang menghilangkan segala keluhan-keluhan mengenai kerasnya ibu kota.
Anggapan-anggapan miring, ternyata tidak harus ditelan bulat-bulat. Anggapan itu tidak mutlak. Sudut pandang itu pilihan. Selalu mencoba mencari cerita baru dari Jakarta, bukan berdasarkan cerita orang. Ternyata, saya menemukan sudut pandang orang Jakarta yang toleran, bukan orang Jakarta yang katanya gak toleran.
• by Oktavia Wijaya
Berjalan semakin jauh, tiba di sebuah kerumunan dengan suara
musik yang cukup keras. Dua mahluk besar menari-nari diantara kerumunan
orang-orang. Ternyata, itu ondel-ondel. Ciri khas dari Jakarta ini, berputar-putar
cepat, membuat kaget sebagaian orang yang lewat dan hampir tertabrak kostum
besar itu. Nampak kaki bersendal jepit menopang beban cukup berat tersebut, dan
aku bertanya-tanya, sehebat apa kekuatan orang yang menopang beban seberat itu
sambil menari-nari berputar di tempat yang cukup sempit? Tak lama, seorang laki-laki keluar dari kostum besar
tersebut. Aku kira akan bertemu dengan sosok bapak yang tinggi besar, ternyata
seorang anak remaja yang baru saja keluar. Kepala dan badannya basah oleh
keringat, ada handuk kecil di pundaknya. Handuk dekil itu, digunakannya untuk
mengelap keringat di dahinya. Sambil tersenyum, dia membawa kostum besar itu ke
pinggir, dan beristirahat bersama teman-temannya.
Saat berbalik, aku menemukan raut wajah bahagia dari seorang
ibu yang sedang mengantar anaknya naik kereta keliling. Sebenarnya bukan
kereta, hanya 3 rangkaian tempat duduk beroda yang ditarik oleh motor. Bapak pengemudi
nampak meminggirkan motornya sambil menunggu penumpang naik. Aku melihat
kebahagiaan disana, sederhana. Namun nikmat.
Ternyata Jakarta bukan hanya tentang kemacetan, panas, dan tak sesuram yang diceritakan. Untuk kesenangan dan kebahagiaan di kota besar ini. Kesenangan mungkin bisa saja hanya milik orang-orang elite yang berlimpah harta dengan fasilitas mewah. Yang bisa jalan-jalan kesana kemari, beli ini itu, pergi dengan mobil tanpa panas dan debu. Tetapi, kebahagiaan milik semua orang. Milik orang-orang yang bersyukur. Milik orang-orang yang memilih untuk bahagia.
Di ibu kota ini, dengan gedung pencakar langit, pusat
perbelanjaan mewah, dan tempat hiburan menarik, aku menemukan kebahagiaan
ditempat yang sederhana. Mungkin memang benar, kesenangan dan kebahagiaan
berbeda rasanya. Orang yang bahagia, pasti senang. Tetapi orang yang senang,
belum tentu bahagia. Semakin yakin bahwa tidak adanya definisi untuk sebuah
kebahagiaan. Menurutku tak semua hal bisa dijelaskan. Manusia sering kali
mendefinisikan untuk memberikan batasan. Batasan hanya membuat sesuatu menjadi
mutlak. Sedangkan kebahagiaan, membutuhkan sebuah ketulusan dan kebebasan. Tanpa direncanakan, tanpa ekspektasi. Terjadi
begitu saja.
Aku setuju dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer,
“Hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat adalah tafsiranya.”
Subscribe to:
Posts (Atom)
Social Icons