• by Oktavia Wijaya
Menurut saya, Oktober tahun ini penuh berkah. Akhir Oktober ini, saya akhiri dengan mencurahkan sebuah pendapat mengenai salah satu karya anak negeri dalam bentuk film dokumenter, Negeri Dongeng.
Film dokumenter yang disutradarai Anggi Frisca dan tim Aksa7art ini berhasil membuat saya penasaran sejak pertama kali mengetahuinya. Perjalanan panjang pendakian 7 gunung di Indonesia itu, berhasil dikemas oleh tim menjadi sebuah pelajaran tentang kehidupan dalam durasi 6240 detik.
Negeri dongeng berhasil menguras emosi penonton bukan hanya karena cinematography atau konsepnya yang bagus, tetapi karena kejujurannya. Jatuh bangun pembuatan film ini terasa jelas. Proses ekspedisi yang dimulai pada November 2014 dan berakhir pada Mei 2016 cukup menggambarkan pentingnya sebuah konsistensi. Film ini membutuhkan waktu yang panjang, komitmen tim dan konsistensi berkarya dalam pembuatan film ini menjadi modal utama film ini dapat selesai.
Keberadaan Matthew dalam film ini menambah daya tarik saya terhadap film ini. Saya spechless menyaksikan anak berusia 9 tahun bisa menaklukan Puncak Mahameru, gunung tertinggi di Jawa. Ternyata, kehebatannya tak lepas dari peran keluarga dan ayahnya yang mengantarkannya menginjakan kaki di Puncak Mahameru.
Film ini mengajarkan bahwa kehidupan adalah sebuah pilihan. Ekspeditor dan tim berani mengambil keputusan untuk meninggalkan hiruk pikuk ibu kota, untuk bersusah-susah mendaki gunung. Banyak hal yang mereka korbankan, dari mulai waktu, uang, tenaga, keluarga, dan masih banyak lagi. Mereka juga membawa tanggung jawab untuk membawa sebuah karya dari pendakian mereka.
Melihat perjuangan tim dalam pendakian, membuat saya memiliki deskripsi baru mengenai seorang teman baik. Saya pun merasakan bahwa mendaki adalah sebuah proses untuk mengontrol ego. Bermain dengan alam membuat saya berpikir, sebenarnya apa yang perlu disombongkan dari seorang manusia? Ketika kita berada di alam, kita tidak ada apa-apanya. Manusia sangat kecil.
Yang saya suka, film ini sangat jujur. Tidak hanya keindahan dari puncak gunung saja yang dimunculkan, tetapi berbagai kesulitan pendakian juga diperlihatkan. Ini sangat menarik, sebagai edukasi untuk pemula bahwa naik gunung bukan hanya untuk pamer dan menjadi objek foto saja, tetapi lebih dari itu. Perjalanan lah yang menjadi pelajaran berharga dalam proses sebuah pendakian.
"Sebenarnya cara mengajarkan generasi muda untuk mencintai Indonesia tidak perlu dengan cara membaca sejarah dll. Cukup dengan menyuruh mereka menjelajahi Indonesia, mereka akan mencintai negeri ini"
Kutipan perkataan Gubernur NTB saat sedang berbincang sore kemarin, membuat saya berpikir bahwa memang sebuah kecintaan harus dirasakan sendiri dan tidak bisa dipaksakan. Hal ini terganbar jelas dari semua ekspeditor, team, dan warior aksa bahwa mereka membuat film ini dengan hati. Kebanggan menjadi anak bangsa tergambar jelas ketika mereka berbicara mengenai Indonesia. Ada mata yang berbinar, ada haru yang tersirat.
Film ini bukan hanya film tentang naik gunung, tetapi lebih dari itu. Terima kasih aksa7art untuk karya ini. Setelah menonton filmnya, saya tahu mengapa Aksa7art memviralkan hashtag #JokowiHarusNonton :)
Film dokumenter yang disutradarai Anggi Frisca dan tim Aksa7art ini berhasil membuat saya penasaran sejak pertama kali mengetahuinya. Perjalanan panjang pendakian 7 gunung di Indonesia itu, berhasil dikemas oleh tim menjadi sebuah pelajaran tentang kehidupan dalam durasi 6240 detik.
Negeri dongeng berhasil menguras emosi penonton bukan hanya karena cinematography atau konsepnya yang bagus, tetapi karena kejujurannya. Jatuh bangun pembuatan film ini terasa jelas. Proses ekspedisi yang dimulai pada November 2014 dan berakhir pada Mei 2016 cukup menggambarkan pentingnya sebuah konsistensi. Film ini membutuhkan waktu yang panjang, komitmen tim dan konsistensi berkarya dalam pembuatan film ini menjadi modal utama film ini dapat selesai.
Keberadaan Matthew dalam film ini menambah daya tarik saya terhadap film ini. Saya spechless menyaksikan anak berusia 9 tahun bisa menaklukan Puncak Mahameru, gunung tertinggi di Jawa. Ternyata, kehebatannya tak lepas dari peran keluarga dan ayahnya yang mengantarkannya menginjakan kaki di Puncak Mahameru.
Film ini mengajarkan bahwa kehidupan adalah sebuah pilihan. Ekspeditor dan tim berani mengambil keputusan untuk meninggalkan hiruk pikuk ibu kota, untuk bersusah-susah mendaki gunung. Banyak hal yang mereka korbankan, dari mulai waktu, uang, tenaga, keluarga, dan masih banyak lagi. Mereka juga membawa tanggung jawab untuk membawa sebuah karya dari pendakian mereka.
Melihat perjuangan tim dalam pendakian, membuat saya memiliki deskripsi baru mengenai seorang teman baik. Saya pun merasakan bahwa mendaki adalah sebuah proses untuk mengontrol ego. Bermain dengan alam membuat saya berpikir, sebenarnya apa yang perlu disombongkan dari seorang manusia? Ketika kita berada di alam, kita tidak ada apa-apanya. Manusia sangat kecil.
Yang saya suka, film ini sangat jujur. Tidak hanya keindahan dari puncak gunung saja yang dimunculkan, tetapi berbagai kesulitan pendakian juga diperlihatkan. Ini sangat menarik, sebagai edukasi untuk pemula bahwa naik gunung bukan hanya untuk pamer dan menjadi objek foto saja, tetapi lebih dari itu. Perjalanan lah yang menjadi pelajaran berharga dalam proses sebuah pendakian.
"Sebenarnya cara mengajarkan generasi muda untuk mencintai Indonesia tidak perlu dengan cara membaca sejarah dll. Cukup dengan menyuruh mereka menjelajahi Indonesia, mereka akan mencintai negeri ini"
Kutipan perkataan Gubernur NTB saat sedang berbincang sore kemarin, membuat saya berpikir bahwa memang sebuah kecintaan harus dirasakan sendiri dan tidak bisa dipaksakan. Hal ini terganbar jelas dari semua ekspeditor, team, dan warior aksa bahwa mereka membuat film ini dengan hati. Kebanggan menjadi anak bangsa tergambar jelas ketika mereka berbicara mengenai Indonesia. Ada mata yang berbinar, ada haru yang tersirat.
Film ini bukan hanya film tentang naik gunung, tetapi lebih dari itu. Terima kasih aksa7art untuk karya ini. Setelah menonton filmnya, saya tahu mengapa Aksa7art memviralkan hashtag #JokowiHarusNonton :)
• by Oktavia Wijaya
I'm officially 23, now!
Ada yang beda dari hari ulang tahunku yang ke 23. Tak ada mata yang terlelap ketika pergantian tanggal, tak ada ucapan selamat yang ku baca ketika bangun, yang ada hanya kebahagiaan dan rasa syukur.
Menutup usia 22 ku, aku berjuang keras mendaki Gunung Semeru. Pengalaman pertama benar-benar naik gunung ini memberikanku pengetahuan dan pengalaman baru. Menyelesaikan administrasi wajib pendakian, mengikuti brieffing sebelum berangkat, dan keinginan yang harus kuat. Saat brieffing, diceritakan juga bahwa mendaki gunung adalah sebuah taruhan nyawa. Tak sedikit yang meninggal ketika mendaki gunung, musibah bisa datang tak terduga. Sempat ragu, tapi keinginan untuk berulang tahun di Ranu Kumbolo lebih besar dari pada rasa takutnya.
![]() |
Ranu Kombolo dilihat dari bukit sebrang |
Pendakian total menghabiskan waktu sekitar 4 jam. Semangat di menit-menit awal pendakian, kalah dengan nafas yang tersenggal. Treking dari gerbang pendakian menuju pos 1 menurutku yang paling menyebalkan. Sering sekali berhenti untuk mengatur nafas, atau menurunkan carier agar beban di pundak hilang dalam beberapa detik. Untuk ketua kelompokku sabar dan memberikan motivasi bahwa di pos 1 ada semangka segar.
Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 berjalan sangat lancar dan tanpa berhenti. Sepertinya aku harus berterima kasih kepada semangka. Setelah melewati beberapa pohon tumbang, 2 jembatan, dan beberapa kebohongan Nursa mengenai "Posnya udah deket, ayo istirahatnya nanti aja disana", akhirnya kami sampai pos 3. Dan dari sini, cobaan terberat pendakian dimulai. Kaki dan punggung jadi korban terjalnya tanjakan yang cukup panjang dari pos 3, dan dibayar lunas dengan Ranu Kumbolo yang sudah nampak. Tetapi, kebahagiaan itu fana. Kita masih harus turun bukit, naik bukit dan turun lagi untuk sampai di area camp Ranu Kumbolo.
Perjalanan melelahkan itu ditutup dengan makan yang lahap, kemudian tumbang sampai malam. Koyo pun ditempelkan di betis, pinggang, dan bahu. Entah berpengaruh, entah tidak.
Hampir tengah malam, langitnya makin indah. Bintangnya semakin banyak dan semakin terlihat terang. Langitnya, bintangnya, suasananya. My kind of Birthday Goals.
Flashback lagi. Berawal dari kebosanan ingin liburan, iseng buka aplikasi KAI, dapet tiket promo, nabung, kecemasan bentrok jadwal, meyakinkan orangtua agar memberi izin, akhirnya aku disini. Senyum-senyum sendiri karna ulang tahun di Ranu Kumbolo bukan hanya keinginan. Allah maha baik!
Kemudian mikir.
Flashback lagi. Berawal dari kebosanan ingin liburan, iseng buka aplikasi KAI, dapet tiket promo, nabung, kecemasan bentrok jadwal, meyakinkan orangtua agar memberi izin, akhirnya aku disini. Senyum-senyum sendiri karna ulang tahun di Ranu Kumbolo bukan hanya keinginan. Allah maha baik!
Kemudian mikir.
Banyak banget pelajaran hidup yang ngajarin aku di umur aku yang ke 22.
Di usia 22, aku menuntaskan kewajiban terhadap orang tua yaitu menjadi seorang sarjana.
Di usia 22 aku belajar jujur sama diri sendiri.
Di usia 22, aku menginjakan kaki di Indonesia Timur.
Di usia 22, aku belajar kalau berharap kepada manusia adalah seburuk-buruknya harapan.
Di usia 22, aku bertemu dengan banyak orang-orang hebat yang mengajarkanku untuk selalu rendah hati.
Di usia 22, aku belajar pentingnya berbuat baik kepada siapa pun dan kapan pun.
Dan di usia 22 ini, ditutup dengan keinginanku ke Ranu Kumbolo jadi nyata.
"We age not by years, but by stories."
Matahari pagi 14 Oktober 2017, tidak kalah indah. Matahari yang masih tersipu, muncul diantara 2 bukit dan cahayanya terpantul di danau. Ditambah ucapan selamat pagi dari tetangga tenda ketika lewat. Bangun tidur dengan pemandangan dan suasana seperti itu, siapa yang tidak senang?
I think it is my best birthday ever. Di dalamnya banyak keberkahan, rasa syukur, dan kekuatan. I'm blessed, terima kasih Ya Rabb.
![]() |
Ranu Kumbolo dan Mahameru |
Subscribe to:
Posts (Atom)
Social Icons