• by Oktavia Wijaya
Males ah ke Jakarta, macet.
Siap-siap ya tinggal di Jakarta, ruwet.
Orang Jakarta mah pada gak mau ngalah.
Jakarta keras!
Males banget naik angkutan umum di Jakarta, pasti berdiri.
Jakarta tuh polusi.
Jakarta...
Jakarta...
Jakarta...
Ibu Kota NKRI ini memang menyimpan berjuta cerita kekacauan di dalamnya. Dengan penduduk yang melebihi kapasitas wilayah, dengan budaya yang ceplas-ceplos, menjadikan Jakarta sebagai kota yang dianggap keras.
Seminggu menjadi orang Jakarta, aku memperhatikan kota ini dari pandangan individu sebagai penduduk baru di Jakarta yang mengenal Jakarta dari nol. Ketika dahulu setiap berkunjung ke ibu kota menggunakan taksi atau gojek, setelah menjadi penduduk di sini saya mencoba menggunakan transportasi umum, transjakarta.
Transportasi umum yang diharapkan bisa mengurangi kemacetan ibu kota ini ternyata sangat digemari warga. Karena harganya yang murah, dan punya jalur sendiri sehingga cukup membantu ketika macet, membuat penumpang tak masalah ketika harus berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Dan di tempat inilah, saya melihat sisi lain dari Jakarta. Toleransi.
Ungkapan-ungkapan mengenai kejamnya Jakarta serasa terlalu menghakimi. Padahal Jakarta tidak sekeras itu. Brand image buruknya Jakarta tergantung perspektif pemikiran setiap individu. Dari sudut mana kita melihat, dari situ lahir pemikiran. Dan di transportasi umum ini, saya menyaksikan toleransi antar individu yang sangat baik.
Pagi ini, saya berdiri di dekat tempat khusus untuk orang difabel. Disamping saya, ada 2 orang ibu-ibu yang berdiri. Sesampainya di halte, seorang wanita yang duduk beranjak untuk turun. Ibu yang terlihat kelelahan berdiri ini, tersenyum sumringah karena mendapatkan tempat duduk. Tak lama busway berjalan, ada seorang ibu bersama anaknya yang difabel naik ke busway. Orang-orang yang berdiri di tempat khusus difabel itu menyingkir dari sana, mempersilahkan ibu tersebut untuk menaruh kursi roda anaknya di tempat yang disediakan. ibu-ibu yang baru saja duduk tadi, kemudian berdiri mempersilahkan ibu dari anak yang difabel tersebut untuk duduk. Padahal, ibu yang terlihat kelelahan berdiri itu baru saja duduk selama beberapa detik saja, tetapi dia dengan besar hati mempersilahkan orang lain untuk duduk disitu.
Beberapa hari yang lalu, di bus transjakarta yang sama, saya melihat seorang bapak yang sudah cukup tua mempersilahkan seorang ibu yang membawa anak kecil untuk duduk di kursinya. Padahal, bapak itu sepertinya akan sangat kelelahan jika beliau berdiri. Tetapi, dengan senyum sumringah, dia mempersilahkan ibu itu untuk duduk di sana. Ketika bapak tua itu berdiri, anak muda dengan sigap langsung mempersilahkan bapak tersebut untuk duduk di kursinya di daerah belakang bus. Dia dengan sigap menjemput bapak itu sambil memapah ke kursinya.
Dari situ saya menyadari, bahwa sebuah kebaikan itu akan menular. Jangan takut untuk menjadi orang baik. Ucapan mempersilahkan duduk, ucapan terima kasih, senyuman bahagia, merupakan pemandangan indah yang menghilangkan segala keluhan-keluhan mengenai kerasnya ibu kota.
Anggapan-anggapan miring, ternyata tidak harus ditelan bulat-bulat. Anggapan itu tidak mutlak. Sudut pandang itu pilihan. Selalu mencoba mencari cerita baru dari Jakarta, bukan berdasarkan cerita orang. Ternyata, saya menemukan sudut pandang orang Jakarta yang toleran, bukan orang Jakarta yang katanya gak toleran.
Pagi ini, saya berdiri di dekat tempat khusus untuk orang difabel. Disamping saya, ada 2 orang ibu-ibu yang berdiri. Sesampainya di halte, seorang wanita yang duduk beranjak untuk turun. Ibu yang terlihat kelelahan berdiri ini, tersenyum sumringah karena mendapatkan tempat duduk. Tak lama busway berjalan, ada seorang ibu bersama anaknya yang difabel naik ke busway. Orang-orang yang berdiri di tempat khusus difabel itu menyingkir dari sana, mempersilahkan ibu tersebut untuk menaruh kursi roda anaknya di tempat yang disediakan. ibu-ibu yang baru saja duduk tadi, kemudian berdiri mempersilahkan ibu dari anak yang difabel tersebut untuk duduk. Padahal, ibu yang terlihat kelelahan berdiri itu baru saja duduk selama beberapa detik saja, tetapi dia dengan besar hati mempersilahkan orang lain untuk duduk disitu.
Beberapa hari yang lalu, di bus transjakarta yang sama, saya melihat seorang bapak yang sudah cukup tua mempersilahkan seorang ibu yang membawa anak kecil untuk duduk di kursinya. Padahal, bapak itu sepertinya akan sangat kelelahan jika beliau berdiri. Tetapi, dengan senyum sumringah, dia mempersilahkan ibu itu untuk duduk di sana. Ketika bapak tua itu berdiri, anak muda dengan sigap langsung mempersilahkan bapak tersebut untuk duduk di kursinya di daerah belakang bus. Dia dengan sigap menjemput bapak itu sambil memapah ke kursinya.
Dari situ saya menyadari, bahwa sebuah kebaikan itu akan menular. Jangan takut untuk menjadi orang baik. Ucapan mempersilahkan duduk, ucapan terima kasih, senyuman bahagia, merupakan pemandangan indah yang menghilangkan segala keluhan-keluhan mengenai kerasnya ibu kota.
Anggapan-anggapan miring, ternyata tidak harus ditelan bulat-bulat. Anggapan itu tidak mutlak. Sudut pandang itu pilihan. Selalu mencoba mencari cerita baru dari Jakarta, bukan berdasarkan cerita orang. Ternyata, saya menemukan sudut pandang orang Jakarta yang toleran, bukan orang Jakarta yang katanya gak toleran.
• by Oktavia Wijaya
Berjalan semakin jauh, tiba di sebuah kerumunan dengan suara
musik yang cukup keras. Dua mahluk besar menari-nari diantara kerumunan
orang-orang. Ternyata, itu ondel-ondel. Ciri khas dari Jakarta ini, berputar-putar
cepat, membuat kaget sebagaian orang yang lewat dan hampir tertabrak kostum
besar itu. Nampak kaki bersendal jepit menopang beban cukup berat tersebut, dan
aku bertanya-tanya, sehebat apa kekuatan orang yang menopang beban seberat itu
sambil menari-nari berputar di tempat yang cukup sempit? Tak lama, seorang laki-laki keluar dari kostum besar
tersebut. Aku kira akan bertemu dengan sosok bapak yang tinggi besar, ternyata
seorang anak remaja yang baru saja keluar. Kepala dan badannya basah oleh
keringat, ada handuk kecil di pundaknya. Handuk dekil itu, digunakannya untuk
mengelap keringat di dahinya. Sambil tersenyum, dia membawa kostum besar itu ke
pinggir, dan beristirahat bersama teman-temannya.
Saat berbalik, aku menemukan raut wajah bahagia dari seorang
ibu yang sedang mengantar anaknya naik kereta keliling. Sebenarnya bukan
kereta, hanya 3 rangkaian tempat duduk beroda yang ditarik oleh motor. Bapak pengemudi
nampak meminggirkan motornya sambil menunggu penumpang naik. Aku melihat
kebahagiaan disana, sederhana. Namun nikmat.
Ternyata Jakarta bukan hanya tentang kemacetan, panas, dan tak sesuram yang diceritakan. Untuk kesenangan dan kebahagiaan di kota besar ini. Kesenangan mungkin bisa saja hanya milik orang-orang elite yang berlimpah harta dengan fasilitas mewah. Yang bisa jalan-jalan kesana kemari, beli ini itu, pergi dengan mobil tanpa panas dan debu. Tetapi, kebahagiaan milik semua orang. Milik orang-orang yang bersyukur. Milik orang-orang yang memilih untuk bahagia.
Di ibu kota ini, dengan gedung pencakar langit, pusat
perbelanjaan mewah, dan tempat hiburan menarik, aku menemukan kebahagiaan
ditempat yang sederhana. Mungkin memang benar, kesenangan dan kebahagiaan
berbeda rasanya. Orang yang bahagia, pasti senang. Tetapi orang yang senang,
belum tentu bahagia. Semakin yakin bahwa tidak adanya definisi untuk sebuah
kebahagiaan. Menurutku tak semua hal bisa dijelaskan. Manusia sering kali
mendefinisikan untuk memberikan batasan. Batasan hanya membuat sesuatu menjadi
mutlak. Sedangkan kebahagiaan, membutuhkan sebuah ketulusan dan kebebasan. Tanpa direncanakan, tanpa ekspektasi. Terjadi
begitu saja.
Aku setuju dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer,
“Hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat adalah tafsiranya.”
• by Oktavia Wijaya
Menurut saya, Oktober tahun ini penuh berkah. Akhir Oktober ini, saya akhiri dengan mencurahkan sebuah pendapat mengenai salah satu karya anak negeri dalam bentuk film dokumenter, Negeri Dongeng.
Film dokumenter yang disutradarai Anggi Frisca dan tim Aksa7art ini berhasil membuat saya penasaran sejak pertama kali mengetahuinya. Perjalanan panjang pendakian 7 gunung di Indonesia itu, berhasil dikemas oleh tim menjadi sebuah pelajaran tentang kehidupan dalam durasi 6240 detik.
Negeri dongeng berhasil menguras emosi penonton bukan hanya karena cinematography atau konsepnya yang bagus, tetapi karena kejujurannya. Jatuh bangun pembuatan film ini terasa jelas. Proses ekspedisi yang dimulai pada November 2014 dan berakhir pada Mei 2016 cukup menggambarkan pentingnya sebuah konsistensi. Film ini membutuhkan waktu yang panjang, komitmen tim dan konsistensi berkarya dalam pembuatan film ini menjadi modal utama film ini dapat selesai.
Keberadaan Matthew dalam film ini menambah daya tarik saya terhadap film ini. Saya spechless menyaksikan anak berusia 9 tahun bisa menaklukan Puncak Mahameru, gunung tertinggi di Jawa. Ternyata, kehebatannya tak lepas dari peran keluarga dan ayahnya yang mengantarkannya menginjakan kaki di Puncak Mahameru.
Film ini mengajarkan bahwa kehidupan adalah sebuah pilihan. Ekspeditor dan tim berani mengambil keputusan untuk meninggalkan hiruk pikuk ibu kota, untuk bersusah-susah mendaki gunung. Banyak hal yang mereka korbankan, dari mulai waktu, uang, tenaga, keluarga, dan masih banyak lagi. Mereka juga membawa tanggung jawab untuk membawa sebuah karya dari pendakian mereka.
Melihat perjuangan tim dalam pendakian, membuat saya memiliki deskripsi baru mengenai seorang teman baik. Saya pun merasakan bahwa mendaki adalah sebuah proses untuk mengontrol ego. Bermain dengan alam membuat saya berpikir, sebenarnya apa yang perlu disombongkan dari seorang manusia? Ketika kita berada di alam, kita tidak ada apa-apanya. Manusia sangat kecil.
Yang saya suka, film ini sangat jujur. Tidak hanya keindahan dari puncak gunung saja yang dimunculkan, tetapi berbagai kesulitan pendakian juga diperlihatkan. Ini sangat menarik, sebagai edukasi untuk pemula bahwa naik gunung bukan hanya untuk pamer dan menjadi objek foto saja, tetapi lebih dari itu. Perjalanan lah yang menjadi pelajaran berharga dalam proses sebuah pendakian.
"Sebenarnya cara mengajarkan generasi muda untuk mencintai Indonesia tidak perlu dengan cara membaca sejarah dll. Cukup dengan menyuruh mereka menjelajahi Indonesia, mereka akan mencintai negeri ini"
Kutipan perkataan Gubernur NTB saat sedang berbincang sore kemarin, membuat saya berpikir bahwa memang sebuah kecintaan harus dirasakan sendiri dan tidak bisa dipaksakan. Hal ini terganbar jelas dari semua ekspeditor, team, dan warior aksa bahwa mereka membuat film ini dengan hati. Kebanggan menjadi anak bangsa tergambar jelas ketika mereka berbicara mengenai Indonesia. Ada mata yang berbinar, ada haru yang tersirat.
Film ini bukan hanya film tentang naik gunung, tetapi lebih dari itu. Terima kasih aksa7art untuk karya ini. Setelah menonton filmnya, saya tahu mengapa Aksa7art memviralkan hashtag #JokowiHarusNonton :)
Film dokumenter yang disutradarai Anggi Frisca dan tim Aksa7art ini berhasil membuat saya penasaran sejak pertama kali mengetahuinya. Perjalanan panjang pendakian 7 gunung di Indonesia itu, berhasil dikemas oleh tim menjadi sebuah pelajaran tentang kehidupan dalam durasi 6240 detik.
Negeri dongeng berhasil menguras emosi penonton bukan hanya karena cinematography atau konsepnya yang bagus, tetapi karena kejujurannya. Jatuh bangun pembuatan film ini terasa jelas. Proses ekspedisi yang dimulai pada November 2014 dan berakhir pada Mei 2016 cukup menggambarkan pentingnya sebuah konsistensi. Film ini membutuhkan waktu yang panjang, komitmen tim dan konsistensi berkarya dalam pembuatan film ini menjadi modal utama film ini dapat selesai.
Keberadaan Matthew dalam film ini menambah daya tarik saya terhadap film ini. Saya spechless menyaksikan anak berusia 9 tahun bisa menaklukan Puncak Mahameru, gunung tertinggi di Jawa. Ternyata, kehebatannya tak lepas dari peran keluarga dan ayahnya yang mengantarkannya menginjakan kaki di Puncak Mahameru.
Film ini mengajarkan bahwa kehidupan adalah sebuah pilihan. Ekspeditor dan tim berani mengambil keputusan untuk meninggalkan hiruk pikuk ibu kota, untuk bersusah-susah mendaki gunung. Banyak hal yang mereka korbankan, dari mulai waktu, uang, tenaga, keluarga, dan masih banyak lagi. Mereka juga membawa tanggung jawab untuk membawa sebuah karya dari pendakian mereka.
Melihat perjuangan tim dalam pendakian, membuat saya memiliki deskripsi baru mengenai seorang teman baik. Saya pun merasakan bahwa mendaki adalah sebuah proses untuk mengontrol ego. Bermain dengan alam membuat saya berpikir, sebenarnya apa yang perlu disombongkan dari seorang manusia? Ketika kita berada di alam, kita tidak ada apa-apanya. Manusia sangat kecil.
Yang saya suka, film ini sangat jujur. Tidak hanya keindahan dari puncak gunung saja yang dimunculkan, tetapi berbagai kesulitan pendakian juga diperlihatkan. Ini sangat menarik, sebagai edukasi untuk pemula bahwa naik gunung bukan hanya untuk pamer dan menjadi objek foto saja, tetapi lebih dari itu. Perjalanan lah yang menjadi pelajaran berharga dalam proses sebuah pendakian.
"Sebenarnya cara mengajarkan generasi muda untuk mencintai Indonesia tidak perlu dengan cara membaca sejarah dll. Cukup dengan menyuruh mereka menjelajahi Indonesia, mereka akan mencintai negeri ini"
Kutipan perkataan Gubernur NTB saat sedang berbincang sore kemarin, membuat saya berpikir bahwa memang sebuah kecintaan harus dirasakan sendiri dan tidak bisa dipaksakan. Hal ini terganbar jelas dari semua ekspeditor, team, dan warior aksa bahwa mereka membuat film ini dengan hati. Kebanggan menjadi anak bangsa tergambar jelas ketika mereka berbicara mengenai Indonesia. Ada mata yang berbinar, ada haru yang tersirat.
Film ini bukan hanya film tentang naik gunung, tetapi lebih dari itu. Terima kasih aksa7art untuk karya ini. Setelah menonton filmnya, saya tahu mengapa Aksa7art memviralkan hashtag #JokowiHarusNonton :)
• by Oktavia Wijaya
I'm officially 23, now!
Ada yang beda dari hari ulang tahunku yang ke 23. Tak ada mata yang terlelap ketika pergantian tanggal, tak ada ucapan selamat yang ku baca ketika bangun, yang ada hanya kebahagiaan dan rasa syukur.
Menutup usia 22 ku, aku berjuang keras mendaki Gunung Semeru. Pengalaman pertama benar-benar naik gunung ini memberikanku pengetahuan dan pengalaman baru. Menyelesaikan administrasi wajib pendakian, mengikuti brieffing sebelum berangkat, dan keinginan yang harus kuat. Saat brieffing, diceritakan juga bahwa mendaki gunung adalah sebuah taruhan nyawa. Tak sedikit yang meninggal ketika mendaki gunung, musibah bisa datang tak terduga. Sempat ragu, tapi keinginan untuk berulang tahun di Ranu Kumbolo lebih besar dari pada rasa takutnya.
![]() |
Ranu Kombolo dilihat dari bukit sebrang |
Pendakian total menghabiskan waktu sekitar 4 jam. Semangat di menit-menit awal pendakian, kalah dengan nafas yang tersenggal. Treking dari gerbang pendakian menuju pos 1 menurutku yang paling menyebalkan. Sering sekali berhenti untuk mengatur nafas, atau menurunkan carier agar beban di pundak hilang dalam beberapa detik. Untuk ketua kelompokku sabar dan memberikan motivasi bahwa di pos 1 ada semangka segar.
Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 berjalan sangat lancar dan tanpa berhenti. Sepertinya aku harus berterima kasih kepada semangka. Setelah melewati beberapa pohon tumbang, 2 jembatan, dan beberapa kebohongan Nursa mengenai "Posnya udah deket, ayo istirahatnya nanti aja disana", akhirnya kami sampai pos 3. Dan dari sini, cobaan terberat pendakian dimulai. Kaki dan punggung jadi korban terjalnya tanjakan yang cukup panjang dari pos 3, dan dibayar lunas dengan Ranu Kumbolo yang sudah nampak. Tetapi, kebahagiaan itu fana. Kita masih harus turun bukit, naik bukit dan turun lagi untuk sampai di area camp Ranu Kumbolo.
Perjalanan melelahkan itu ditutup dengan makan yang lahap, kemudian tumbang sampai malam. Koyo pun ditempelkan di betis, pinggang, dan bahu. Entah berpengaruh, entah tidak.
Hampir tengah malam, langitnya makin indah. Bintangnya semakin banyak dan semakin terlihat terang. Langitnya, bintangnya, suasananya. My kind of Birthday Goals.
Flashback lagi. Berawal dari kebosanan ingin liburan, iseng buka aplikasi KAI, dapet tiket promo, nabung, kecemasan bentrok jadwal, meyakinkan orangtua agar memberi izin, akhirnya aku disini. Senyum-senyum sendiri karna ulang tahun di Ranu Kumbolo bukan hanya keinginan. Allah maha baik!
Kemudian mikir.
Flashback lagi. Berawal dari kebosanan ingin liburan, iseng buka aplikasi KAI, dapet tiket promo, nabung, kecemasan bentrok jadwal, meyakinkan orangtua agar memberi izin, akhirnya aku disini. Senyum-senyum sendiri karna ulang tahun di Ranu Kumbolo bukan hanya keinginan. Allah maha baik!
Kemudian mikir.
Banyak banget pelajaran hidup yang ngajarin aku di umur aku yang ke 22.
Di usia 22, aku menuntaskan kewajiban terhadap orang tua yaitu menjadi seorang sarjana.
Di usia 22 aku belajar jujur sama diri sendiri.
Di usia 22, aku menginjakan kaki di Indonesia Timur.
Di usia 22, aku belajar kalau berharap kepada manusia adalah seburuk-buruknya harapan.
Di usia 22, aku bertemu dengan banyak orang-orang hebat yang mengajarkanku untuk selalu rendah hati.
Di usia 22, aku belajar pentingnya berbuat baik kepada siapa pun dan kapan pun.
Dan di usia 22 ini, ditutup dengan keinginanku ke Ranu Kumbolo jadi nyata.
"We age not by years, but by stories."
Matahari pagi 14 Oktober 2017, tidak kalah indah. Matahari yang masih tersipu, muncul diantara 2 bukit dan cahayanya terpantul di danau. Ditambah ucapan selamat pagi dari tetangga tenda ketika lewat. Bangun tidur dengan pemandangan dan suasana seperti itu, siapa yang tidak senang?
I think it is my best birthday ever. Di dalamnya banyak keberkahan, rasa syukur, dan kekuatan. I'm blessed, terima kasih Ya Rabb.
![]() |
Ranu Kumbolo dan Mahameru |
• by Oktavia Wijaya
Tepat sehari sebelum hari
kemerdekaan Indonesia ke 72, saya melihat postingan menarik dari seorang Maudy
Ayunda. Maudy memposting foto dirinya yang di grid dengan sebuah quotes. Di captionnya,
Maudy menulis mengenai arti kemerdekaan dan mengajak followersnya untuk bergabung bersama dia dan @kejarmimpi.id untuk
menggaungkan semangat kemerdekaan dengan memposting foto dan menceritakan arti
kemerdekaan dengan tujuan saling membangun dan berbagi hal positif satu sama
lain demi tercapainya mimpi besar kita dan mimpi besar bangsa Indonesia. Postingan
tersebut, membuat saya kembali mengingat
mimpi kecil saya. Mimpi sejak kecil, yang diusahakan dan menjadi kenyataan.
Mimpi saya dibangun dari sebuah
acara televisi. Kegemaran menonton program Jejak Petualang dan Orang Pinggiran
ketika saya berada di bangku sekolah dasar, menjadikan saya tertarik pada kedua
bidang tersebut yaitu travelling dan
sosial. Kekaguman saya terhadap negeri pertiwi ini juga dipupuk sejak saya
kecil, dengan tertarik menyanyikan lagu wajib nasional, mengikuti upacara
bendera dengan khidmat, mengikuti pramuka, menjadi paskibra, kegiatan-kegiatan
tersebut yang secara tidak sadar memupuk jiwa nasionalisme saya. Keliling
Indonesia menjadi salah satu mimpi saya, salah satu caranya adalah dengan
menjadi seorang pembawa acara petualangan.
Mimpi saya belum tercapai
meskipun saya sudah mengenyam bangku kuliah, tetapi semangat dari mimpi saya
terus ada. Saya terus menjadikan travelling
dan kegiatan sosial sebagai passion saya. Meski pun saya tahu, untuk bisa travelling keliling Indonesia
membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tidak ada dana khusus untuk saya travelling. Kebutuhan kuliah dan kebutuhan sehari-hari saya lebih
penting dibandingkan dengan travelling,
akhirnya saya harus mengalah untuk belum bisa melakukan travelling dengan uang saya sendiri.
Sampai pada tahun 2014, di tahun
kedua saya kuliah, saya mendapatkan jalan untuk mewujudkan mimpi saya. Saya mendapat
tawaran untuk menjadi host jalan-jalan dari salah satu tv swasta lokal. Setelah
casting dan dinyatakan menjadi host, ternyata program acaranya tidak
dilanjutkan dan mimpi saya belum bisa terwujudkan. Kesempatan lainnya datang, yaitu dengan mengikuti program Bakti Pemuda
Antar Provinsi yang merupakan sebuah program dari Kementrian Pemuda dan Olah
Raga. Tetapi, jalannya tidak mudah. Saya harus mengikuti seleksi tingkat
provinsi yang mengharuskan saya untuk bekerja keras dan bisa bersaing dengan
peserta seleksi lainnya yang secara umur lebih tua dari saya. Dinas Pemuda dan
Olah Raga Provinsi Jawa Barat menjelaskan bahwa untuk mengikuti Bakti Pemuda
Antar Provinsi, kami harus terlebih dahulu mengikuti Jambore Pemuda Indonesia. Seleksi
terdiri dari wawasan kebangsaan, seni dan budaya, juga olah raga dengan test
fisik. Dan akhirnya, saya terpilih menjadi salah satu dari 15 orang yang
menjadi perwakilan Jawa Barat dan ditempatkan di Bangka selama 30 hari. Saat hari
keberangkatan saya termenung, bahwa dua mimpi saya sejak kecil terwujud. Saya melakukan
kegiatan sosial disana, sekaligus travelling
disana. Disana saya mengenal Indonesia, saya tinggal dirumah penduduknya,
berinteraksi dengan warganya, saya belajar budayanya, dan saya jalan-jalan menikmati
alamnya.
“Jika kita mempunyai keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh
alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya.” – Soekarno
Dari situ saya sadar, bahwa
terwujudnya sebuah mimpi merupakan sebuah rahasia Tuhan. Tugas saya sebagai
manusia hanya bisa berdo’a dan berusaha. Mimpi setiap orang berbeda-beda, tidak
ada mimpi yang kecil dan tidak ada mimpi yang besar. Tidak ada mimpi terbaik,
dan tidak ada mimpi yang buruk selama mimpi itu adalah sebuah kebaikan bagi
dirinya dan sesama.
Saya menyusun mimpi lain. Mimpi yang
dibuat masih dengan garis besar yang sama, hanya lebih spesifik. Saya ingin
mengunjungi Indonesia Timur. Melihat keindahan Indonesia Timur di foto dan
video yang begitu banyaknya di internet, membuat saya ingin melihatnya secara
langsung. Passion saya di bidang sosial tersalurkan dengan membuat komunitas
kecil dengan nama Senandung Senja yang berfokus pada hal-hal kecil dalam hidup
yang sering terlupakan. Diantaranya, membagikan sarung tangan bagi pahlawan
kebersihan. Tapi sayangnya, konsistensi kami belum baik sehingga hanya bertahan
sekitar 3 bulan.
Alhamdulillah, mimpi itu tercapai
lagi di tahun 2017. Saya terpilih untuk melakukan kegiatan Social Expedition ke Kota Tual, Maluku. Mimpi saya untuk
menginjakan kaki di Indonesia Timur Tercapai. Bahkan bukan cuma di Maluku, saya berlabuh di Makassar, Bau-bau, Bandai Naira, Alor, Kupang dan
menjelajah laut Indonesia. Dan lagi, tiga mimpi saya terkabul bersamaan. Travelling, melakukan kegiatan sosial,
dan menginjakan kaki di Indonesia Timur.
Saya sangat bersyukur menjadi
manusia yang senang bermimpi. Pepatah itu benar sekali, ada 2 kemungkinan yang
berhubungan dengan mimpi. Kamu melanjutkan tidur dan membiarkan itu tetap
menjadi sebuah mimpi, atau kamu bangun dan membuat mimpi itu menjadi sebuah
kenyataan. Beruntungnya, saya memiliki keberanian untuk bangun.
Sebagai generasi muda, mimpi bisa
dijadikan sebuah langkah awal dari realisasi. Bukan untuk berlomba, tapi saling
bahu-membahu untuk mewujudkan mimpi. Kegagalan hanya proses yang harus
dijadikan sebuah pelajaran, bukan hasil akhir yang harus disesali. Your dream doesn’t have an expired date,
take a deep breath and try again.
Berbicara mengenai mimpi, bukan
tentang perlombaan tercapainya mimpi tersebut. Tapi mimpi adalah harapan,
penyemangat. Dengan bermimpi, manusia memiliki tujuan. Dengan bermimpi, ada
komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Dengan bermimpi, manusia tidak
kehilangan harapan. Dan ingat, YOU NEVER TOO OLD TO SET ANOTHER GOAL OR TO
DREAM ANOTHER DREAM! (CSLEWIS)
• by Oktavia Wijaya
Gita Savitri Devi atau lebih
dikenal sama nama Gitasav adalah youtuber yang lagi naik daun dan diidolakan
banyak orang, khususnya generasi muda. Dan ketika Gita ke Bandung, gak
menyianyiakan kesempatan, langsung ikut meet
and greet.
Sebenernya
tau Gita dari tahun 2013, pas dia nyanyi lagu Teman Hidup bareng Paul dan sampe
sekarang lagu itu jadi favoritenya
aku. Gak tau kenapa, di lagu itu Gita sama Paul keliatan banget chemistrynya, gemes banget liatnya. Dari
situ, aku lanjut dengerin lagu-lagu di soundcloudnya dan follow instagramnya
yang followersnya masih sekitar 3000an. Kebetulan, aku pun suka foto-fotonya
Gita di Jerman. Pemandangannya, human
interestnya, musim-musim disana, dan outfit yang dipake orang-orang sana. Sampai
pada tahun 2016, Gita mulai booming sama vlognya dan dia udah pake hijab saat
itu.
Yang
bikin aku follow Gita dan kagum sama Gita itu dari dulu karena dia itu independent woman. Apa-apa dikerjain
sendiri, kemana-mana gak bergantung sama orang, pacaran juga gak manja-manja
depan orang lain, dan menurutku pengalaman-pengalaman hidupnya Gita bisa banget
jadi sarana aku buat belajar.
Cerita
dia survive di Jerman bikin aku mikir
kalo kita emang bener-bener harus keluar dari zona nyaman buat bikin kita
tangguh dan kita bakal dapet banyak pelajaran dari situ. Dan jangan banyak
khawatir sama apa yang bakal terjadi sama kita, karena Allah gak pernah ngasih
ujian melebihi batas kemampuannya. Kalo kita dikasih kesusahan yang menurut
kita itu susah banget, berarti Allah percaya kita bisa melaluinya.
Gita
juga ngajarin kalo kita gak bisa ngerubah sesuatu cuma dengan ngeluh aja. Dulu Gita
risih sama banyaknya youtuber Indonesia yang bikin konten yang gak berkualitas,
dan dia pikir dia gak bisa kalo Cuma ngeluh aja. Jadi dia bikin konten menarik
yang menurut dia bisa bermanfaat buat orang-orang yang nonton dia. Dan hasilnya?
Ratusan ribu orang tertarik sama kontennya
dia, ribuan orang termotivasi sama dia, ribuan
orang yang mendapatkan pelajaran baru
dari kontennya dia. Jadi, kurang-kurangi mengeluh dan bertindaklah. Kamu gak
akan tau apa yang kamu lakukan bermanfaat atau tidak, sampai kamu bener-bener
melakukannya.
Cerita
hijrahnya Gita juga menarik banget dan keputusan dia buat berhijab di negara
dengan mayoritas non-muslim juga sangat menginspirasi. Dia banyak cerita gimana
temen-temen non-muslimnya tidak pernah mempermasalahkan hijabnya, dia cerita
bagaimana temen-temen muslimnya disana, dan banyak banget cerita dia soal
menjadi minoritas di negeri yang mayoritas non-muslim.
Dan yang paling menarik, Gita gak pernah mempermasalahkan pendapat orang tentang
dirinya. Tentang kuliahnya yang lebih lama dari pada di Indonesia, tentang
pacarnya yang dulu seorang non-muslim, tentang opini-opininya dia yang selalu
mengangkat hal yang sedang krusial, dan masih banyak cerita-cerita Gita lainnya
yang menolak mengikuti arus dan tuntutan orang lain.
Gita,
si inspiring woman akhirnya pulang ke
Indonesia. Dan aslinya, dia emang cantik banget dan humble banget. Gita ceplas-ceplos dan apa adanya, gak memposisikan
dirinya sebagai idola orang banyak.
“Git, ko cantik banget sih?”
“Ah, palsu ko ini, hehehe.”
Kemudian kami tertawa sambil berpelukan.
Begitulah ending cerita Okta ketemu Gita. Sampai jumpa di Jerman, Git.
• by Oktavia Wijaya
Disana tempat harapan, doa, dan usaha keras berlalu-lalang...
Setiap memasuki lorong rumah sakit, selalu membuat saya terharu dan bersyukur diberikan kesehatan. Nikmat sehat dari Allah SWT yang seharusnya disyukuri setiap hari, terkadang terabaikan. Dan ketika berkunjung ke rumah sakit, pemandangannya membuat saya selalu merasa diingatkan.
Disana, tempat digantungkannya harapan. Tempat dimana harapan menjadi satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Harapan kepada sesama manusia, terutama kepada Tuhannya.
Disana, penuh dengan doa. Dimana manusia merasa berada pada titik serendah-rendahnya sehingga memohon-mohon kepada Tuhannya. Dimana manusia merasa lemah, dan tak bisa berbuat apa-apa.
Disana, orang-orang berjuang keras. Yang sakit berjuang untuk sembuh, yang sehat berjuang untuk mencari biaya pengobatan.Perjuangan yang penuh dengan pengorbanan, tanpa ampun.
Begitu mengharukan ketika melihat seorang balita yang menemani ibunya cuci darah dengan riang gembira. Dia berlari kesana-kemari sambil sesekali duduk disamping ibunya. Anak itu tidak takut melihat selang-selang penuh darah yang berada di dekat tempat tidur ibunya, dia hanya memperhatikan sambil tersenyum. Tawanya, menghibur. Bukan hanya ibunya, tapi semua pasien yang ada disana.
Begitu menyedihkan ketika melihat seorang ibu yang tidur hanya beralaskan tikar tipis, menunggui anaknya di ruang rawat inap yang berisi dua pasien dalam satu kamar. Sesekali, orang yang menunggui kedua pasien bercengkrama dan bercerita satu sama lain. Tetapi, kelelahannya masih tergurat jelas di wajahnya. Masih teringat senyum tulusnya ketika menyemangati anaknya untuk sembuh.
Begitu menakutkan ketika melihat sebauh keluarga menangis karena kehilangan orang yang mereka cintai disana.
Begitu menegangkan melihat seorang ayah yang menunggu istrinya melahirkan. Keluarga yang menunggu dengan tak sabar, sambil memanjatkan do'a keselamatan.
Beribu kejadian sudah terjadi disana. Baik hal yang menyenangkan, sampai hal yang menyedihkan terjadi disana. Baik cerita tentang kedatangan, mau pun cerita tentang kehilangan sudah terjadi disana.
Disana saya sadar, "Maka nikmat Tuhan mana kah yang kamu dustakan?"
Rezeki dari Allah SWT bukan hanya uang, tetapi segala macam yang kita dapatkan dan salah satunya nikmat sehat. Baik sehat secara fisik, mau pun secara mental. Manusia bekerja sangat keras saat muda untuk menghasilkan uang yang banyak, tidak memikirkan kesehatannya dan ketika dia sakit uang tersebut akan hilang dengan cepat untuk biaya perobatan. Jadi, untuk apa melakukan segala sesuatu secara berlebihan dan mengabaikan hal penting lainnya?
• by Oktavia Wijaya
Jadi sebenarnya, kita hidup untuk apa?
Kalau hidup hanya untuk mengejar materi, mengapa orang kaya
tak semuanya bahagia?
Kalau hidup hanya mengejar mimpi, setelah mimpi itu tercapai
apa yang selanjutnya terjadi?
Kalau hidup hanya memikirkan fisik, mengapa orang bisa
terlihat bahagia meskipun dia tidak cantik?
Berbicara mengenai hidup, terdapat rasa syukur di dalamnya. Manusia
itu egois dan tamak, sampai kapan pun akan bertambah terus
keinginan-keinginannya. Mereka tak pernah merasa puas dengan apa yang mereka
miliki, karena mereka tidak bersyukur.
Mereka sibuk dengan diri mereka sendiri tanpa memperdulikan
orang lain, mereka sibuk dengan orang yang bisa memberikan keuntungan kepada
mereka tanpa mereka introspeksi diri apakah mereka memberikan keuntungan yang
sama atau tidak. Mereka mencari kebahagiaan dengan susah payah, padahal bahagia
itu sederhana.
Se sederhana bangun di pagi hari dan melihat matahari
terbit,
Se sederhana menemukan uang di saku celana ketika uang sudah
habis,
Se sederhana berbagi makanan dengan teman yang sedang
kelaparan,
Se sederhana melihat matahari tenggelam dan langit berwarna
jingga.
Se sederhana itu...
Bahagia itu rasa yang diciptakan diri kita sendiri. Bahagia itu
keikhlasan, dan rasa syukur. Bahagia itu tanpa ekspektasi, tanpa pamrih.
Manusia sebenarnya hanya perlu merasa cukup. Saya memiliki banyak pakaian, tetapi yang saya
pakai pasti pakaian itu-itu saja. Sekarang saya mulai berpikir, mengapa tidak
saya kasih ke orang yang membutuhkan? Ketika pakaian itu hanya saya simpan dan
tidak berguna apa-apa bagi saya, mungkin untuk orang lain itu sangat berguna. Saya
teringat ketika saya memberikan sebuah tas kepada seseorang, dan dia sangat
senang dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Rasanya? Malu.
Kenapa saya begitu egois menimbun barang-barang yang tidak
saya pakai hanya karna sayang atau suatu saat akan saya pakai, padahal disana
banyak orang yang sangat membutuhkannya? Rejeki itu mengalir, jangan pernah
takut kehilangannya. Toh, apa yang kita dapatkan juga itu berasal dari orang
lain. Dan rejeki itu tidak hanya berupa uang, bisa berupa barang maupun kasih
sayang.
Ketika kamu merasa hidupmu berat, coba lihat sekitar.
Bagaimana bisa kita menangis hanya karena patah hati, saat
orang lain masih bisa tersenyum meskipun tidak mempunyai orang tua?
Bagaimana bisa kita mengeluh hanya karena pekerjaan yang
tidak sesuai passion, sedangkan berjuta orang disana mati-matian mencari
pekerjaan menjadi apa pun itu?
Tengoklah ke atas untuk motivasi, tapi sering-sering lah
menengok ke bawah agar kita bersyukur.
Mungkin uang Rp.30.000 terasa biasa saja
dan hanya bisa membeli es krim dengan brand terkenal satu scoop, tetapi bagi
orang yang kurang mampu itu dianggap nominal yang besar dan mereka bisa makan
enak hari itu.
Start from now, be
thankful, be happy, and be kind. Karena ketika kamu meninggal, oranglain
akan lupa dengan raga tapi tidak dengan rasa.
• by Oktavia Wijaya
Badai telah berlalu, dan aku masih berdiri disini. Ku kira
akan sulit, tetapi ternyata cukup mudah. Karna ternyata mencintai diri sendiri
jauh lebih menyenangkan daripada mencintai orang lain.
Badai telah berlalu, dan aku sudah tak merasa sakit lagi. Karna
sakitnya sudah digantikan Tuhan. Karna tidak ada sakit yang tak bisa diobati, sakit
hanya butuh proses untuk menjadi sembuh.
Badai telah berlalu, dan sekarang aku bisa tertawa. Aku menertawakan
diriku sendiri yang cukup lama kehilangan rasanya. Aku menertawakan
kesabaranku, dan menertawakan ketidak jujuran yang aku terima.
Setelah cukup lama bertanya, akhirnya Tuhan memberikan
jawaban.
Setelah cukup lama percaya, akhirnya Tuhan membuat ragu.
Setelah cukup lama bertahan, akhirnya Tuhan menyuruhku untuk
melepaskan.
Pelajaran pentingnya,
Berharap kepada manusia adalah seburuk-buruknya
harapan.
It’s time to let it go, go out, and stand again.
You did it, Oktavia.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Social Icons